Selasa, 11 Juni 2013

Konsep Anti-Tax Avoidance

Upaya Pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan (tax compliance), seperti penerapan Sunset Policy, tidak diimbangi dengan pengaturan yang komprehensif terhadap skema-skema penghindaran pajak (tax avoidance schemes). Perlu dicatat bahwa UU Pajak Penghasilan (selanjutnya UU PPh) amandemen ke-IV (UU Nomor 36 Tahun 2008), memang menambah beberapa ayat pada Pasal 18 yang mengidentifikasi beberapa skema penghindaran pajak baru berikut aturan yang menetapkan konsekuensi hukum dari penyusunan skema-skema tersebut. Namun, anti-avoidance rules yang telah lebih dulu ada, seperti thin capitalization dan CFC tidak mengalami perubahan. Hal yang sama juga terjadi terhadap definisi hubungan istimewa. Hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi negara, karena pengaturan-pengaturan tersebut dapat dengan mudah diantisipasi oleh Wajib Pajak (WP). Sebaliknya, istilah-istilah seperti “perusahaan” dan “kontrol” belum diberikan definisi dalam UU PPh atau dirujuk pada definisi dalam Undang-Undang lain. 


Istilah penghindaran pajak (tax avoidance) berbeda dengan pengelakan pajak (tax evasion). Dalam tax evasion, upaya WP untuk mengurangi pembayaran pajak yang terutang dilakukan dengan melanggar ketentuan pidana dalam Undang- Undang di bidang perpajakan Berbeda dengan tax evasion, istilah penghindaran pajak (tax avoidance) dapat diartikan sebagai upaya WP untuk mengurangi beban pajaknya dengan tidak melakukan tindak pidana seperti diatur dalam Undang-Undang di bidang perpajakan. Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan beberapa karakteristik tax avoidance yang membedakannya dengan tax evasion. 

Pertama, dalam tax avoidance, hutang pajak (tax liability) belum timbul, karena kewajiban subjektif dan/atau kewajiban objektifnya belum terpenuhi. Kedua, tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan (abusive) dari peraturan-peraturan di bidang perpajakan namun tidak dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah hukum yang tedapat dalam peraturan-peraturan tersebut atau bahkan yang terdapat dalam konsep dan rasionalisasi adanya kebijakan-kebijakan di bidang perpajakan. Ketiga, pemanfaatan celah-celah hukum tersebut memuat elemen artificiality atau buatan. Dengan kata lain, upaya-upaya yang dilakukan oleh WP tidak mencerminkan keadaan ekonomis yang sebenarnya atau seharusnya terjadi.

Mekanisme kerja anti-avoidance rules (peraturan-peraturan yang dibuat untuk mengantisipasi skema-skema penghindaran pajak (tax avoidance)) di Indonesia, khususnya yang terdapat dalam UU PPh pasca amandemen ke-IV. Peraturan-peraturan tersebut berlaku bagi WP Badan dan/atau WP Orang Pribadi. Tinjauan historis terhadap aturan-aturan tersebut juga akan dilakukan untuk mengetahui saat mulai berlakunya dan latar belakang pemberlakuan kebijakan-kebijakan tersebut serta perubahan-perubahannya. Perlu diketahui bahwa UU PPh tidak mengenal general anti-avoidance rules. Anti-avoidance rules yang terdapat dalam Pasal 18 UU PPh mengatur jenis-jenis penghindaran pajak yang spesifik dan tertuju pada Wajib Pajak tertentu yang melakukan penghindaran pajak tersebut. Dengan kata lain, pengaturannya tidak bersifat sebagai pasal-pasal pengaman (safeguard articles) dalam mengantisipasi abuse of law saja. 

Suatu sistem hukum pajak yang koheren akan membebankan biaya pada satu pihak (pihak yang membayarkan penghasilan) dan pada saat bersamaan memungut pajak atas penghasilan yang diperoleh penerima penghasilan tersebut. Jika para pihak berada di jurisdiksi yang berbeda, maka akan terjadi dislokasi antara penghasilan dan biaya. Pengurangan biaya yang eksesif di satu jurisdiksi akan menyebabkan pengurangan penghasilan kena pajak yang eksesif pula di jurisdiksi yang lain. Hal ini disebut juga dengan base erosion. Pengaturan anti- avoidance rules dilakukan untuk mencegah terjadinya dislokasi antara penghasilan dan biaya, sehingga mencegah pula terjadinya base erosion. Keberadaan anti-avoidance rules yang lebih baik dan lebih ketat dari pengaturan yang sekarang diperlukan oleh Indonesia, karena walaupun telah mengalami penurunan di tahun 2009, tarif PPh Badan di Indonesia masih tergolong tinggi. Hal ini dapat memicu munculnya skema-skema penghindaran pajak baru yang dilakukan oleh WP.

Untuk itu dibuatlah beberapa aturan yang memberikan ruang untuk pihak yang berwenang dalam menentukan kewajaran sesuatu transaksi. Ketentuan khusus anti penghindaran pajak antara lain:

  1. Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan (debt to equity ratio/ DER rule).
  2. Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri dari penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek (controlled foreign corporation/ CFC rule).
  3. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan (transfer pricing rule) serta menentukan utang sebagai modal (hybrid loan recharacterization rule) untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak (Advance Pricing Agreement/ APA) dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

Sumber: Berbagai Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar