Rabu, 12 Juni 2013

Treaty Shopping

Treaty Shopping adalah suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas, misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Upaya penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut, disebut sebagai abusive. Hal ini disebabkan karena menggunakan pasal-pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya perjanjian penghindaran pajak berganda, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan mencegah terjadinya penghindaran pajak.
Dalam rangka mencegah praktik penyalahgunaan ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian penghindaran pajak berganda agar  tidak disalahgunakan oleh subjek pajak yang tidak seharusnya menerima manfaat dari perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut, maka dalam pasal perjanjian pajak berganda terdapat ketentuan tentang anti tax avoidance. Disamping itu, banyak negara juga membuat suatu ketentuan tentang anti tax avoidance terhadap treaty shopping dalam ketentuan domestiknya.


KEDUDUKAN SURAT KETERANGAN DOMISILI (SKD) DALAM PENCEGAHAN TREATY SHOPPING

Sehubungan dengan masalah subjek pajak yang berhak mendapatkan fasilitas yang ada dalam suatu perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya negara sumber penghasilan meminta Certificate of Residence (Surat Keterangan Domisili/SKD) sebagai bukti bahwa subjek pajak tersebut memang benar subjek pajak dalam negeri dari negara lainnya yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda.

Di India, dalam perjanjian penghindaran pajak berganda India-Mauritius, Central Board of Direct Taxation menyatakan bahwa SKD yang diterbutkan oleh pihak yang berwenang di Mauritius dapat dianggap sebagai bukti yang cukup meyakinkan bahwa penghasilan telah diterima oleh subjek pajak dalam negeri sekaligus sebagai penerima terakhir yang sebenarnya (beneficial owner of the income). Akan tetapi, oleh Pengadilan Tinggi, Surat Edaran tersebut dianggap ultra vires terhadap undang-undang pajak penghasilan India. Lebih lanjut, mengenai Surat Edaran yang diterbitkan tersebut, Srinivasa Rao berpendapat bahwa hal tersebut merupakan passive abuse by a state karena negara memberikan legitimasi kepada subjek pajak yang mempunyai peluang untuk melakukan abuse of tax treaty.


Contoh kasus lain yang berhubungan dengan kedudukan SKD dapat dilihat dalam kasus sengketa pajak antara Forth Investment Ltd dengan Commissioners of Inland Revenue yang terjadi di tahun 1976. Dalam kasus tersebut, surat pernyataan dari Company Secretary dan SKD yang diterbitkan oleh Deputy Commissioner dianggap tidak mempunyai nilai sama sekali (the evidential value was nil).

Terkait dengan kasus di atas, pengadilan dengan tegas menyatakan bahwa SKD hanya merupakan opini dari pihak yang menerbitkan SKD tersebut dan pihak otoritas pajak berhak untuk mendapatkan bukti-bukti lainnya untuk melihat transaksi sesungguhnya secara lebih mendalam (lebih diutamakan) dan melihat fakta-fakta yang sebenarnya.

BENEFICIAL OWNER DAN TREATY SHOPPING
Khusus untuk penghasilan atas dividen, bungan, dan royalti, perjanjian penghindaran pajak berganda menambahkan satu persyaratan lagi selain sebagai resident untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif yang disediakan, yaitu beneficial owner. Terkait dengan beneficial owner, Belanda menginterpretasikan beneficial owner sebagai berikut:
No "real benefit accrues" if the recipient of certain income is under the contractual obligation to pass the income entirely or almost entirely on to the third party.
dan
a person cannot  be considered beneficial owner if he is, for example, contractually obligated to pay the largest part of the income to the third parties.
Dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. Atas penghasilan bunga dari utang jangka panjang sebesar Rp 10 Milyar tidak dikenakan pajak di Indonesia;
  2. Belanda hanya akan mengenakan pajak atas sebagian kecil dari penghasilan bunga tersebut (dalam hal ini diberi istilah 'imbalan')
  3. Kemudian, penghasilan bungan sebesar Rp 10 Milyar yang diterima oleh Subsidiary, di negara Tax Haven, tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif yang rendah.
LIMITATION ON BENEFITS SEBAGAI ANTI TREATY SHOPPING
OECD telah memberikan jalan keluar untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda dengan beberapa alternatif, seperti: (i) looh-through approach; (ii) the channel approach; (iii) the limitation on benefits approach; dan (iv) bonafide test.
Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung di India dalam putusannya menyatakan bahwa jika otoritas pajak India ingin menyatakan bahwa negara pihak ketiga (non-resident country) tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas yang disediakan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, maka negara harus mengadopsi ketentuan limitation of benefits seperti yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda India-US. Maksud diadakan ketentuan limitation of benefits tersebut adalah dalam rangka untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak bergandaoleh subjek pajak yang tidak berwenang dan dalam rangka untuk kepastian hukum bagi subjek pajak.
Sehubungan dengan ketentuan limitation of benefits, perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia saat ini mempunyai pasal limitation of benefits hanya dengan USA. Akan tetapi, untuk dapat memasukkan (renegosiasi) pasal tersebut dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang masih berlaku saat ini adalah sesuatu yang sangat sulit karena dalam praktik, masa berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda dengan satu negara sampai renegosiasi rata-rata sekitar 14 tahun. Hal ini bisa terjadi karena suatu renegosiasi memerlukan adanya kepentingan bersama dari dua negara yang mengadakan renegosiasi perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut. Oleh karena itu, keinginan sepihak untuk memasukkan anti penghindaran pajak dalam perjanjian penghindaran pajak berganda banyak menemui kendala dalam praktiknya.

SAAR SEBAGAI ANTI TREATY SHOPPING
Banyak negara, pada umumnya, telah memiliki ketentuan khusus anti penghindaran pajak (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR) untuk mencegah praktik treaty shopping dalam undang-undang pajak domestik mereka. Di lain pihak, meskipun ketentuan khusus anti penghindaran pajak (SAAR) sudah diatur dalam ketentuan pajak domestik di suatu negara tetapi tidak cukup efektif untuk menangkal praktik treaty shopping seperti yang dinyatakan oleh Arnold (Tidak cukup kuat dapat diartikan bahwa dalam pembuatan UU Pajak sangat sulit untuk memprediksi skema-skema khusus penghindaran pajak yang akan dilakukan oleh subjek pajak di kemudian hari). Untuk dapat menangkal praktik penghindaran pajak perlu adanya kombinasi antara ketentuan umum anti penghindaran pajak (General Anti Avoidance Rule/ GAAR) dan ketentuan khusus anti penghindaran pajak.

GAAR SEBAGAI ANTI TREATY SHOPPING
Paragraf 22 dan 22.1 OECD Commentary atas Pasal 1 menyatakan bahwa ketentuan anti penghindaran pajak domestik seperti "substance over form principle", "economic substance", dan ketentuan umum anti penghindaran pajak (General Anti Avoidance Rule/ GAAR) tidak bertentangan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda. Akan tetapi, sudah ada kesepakatan antara negara anggota OECD bahwa penerapan GAAR ini harus dilaksanakan dengan hati-hati agar jangan sampai terjadi pemajakan berganda. Penerapan ketentuan GAAR hanya bisa dilaksanakan jika sudah terdapat bukti yang sangat jelas bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda telah disalahgunakan.

Ketentuan GAAR dapat dikembangkan melalui Undang-Undang pajak penghasilan atau dikembangkan oleh pengadilan pajak melalui putusan-putusannya. Salah satu doktrin yang dikembangkan oleh pengadilan di banyak negara dalam menyangkal praktik treaty shopping, melalui pendirian conduit company/paperbox company, yaitu dengan cara membuat aturan tentang step transaction doctrine. Ketentuan tentang step transaction doctrine tersebut telah dikembangkan di Pengadilan Pajak AS (US Tax Court).

Terkait dengan ketentuan step transaction doctrine, Pengadilan Pajak AS menyatakan bahwa suatu rangkaian transaksi yang secara formal dibuat terpisah akan dibatalkan dan dijadikan sebagai satu transaksi yang tidak terpisahkan. Selain itu, dalam rangka untuk menangkal complex series of transactions yang tidak mempunyai tujuan bisnis, semata-mata untuk menghindari pajak, Pengadilan Pajak AS memberikan 3 (tiga) macam alat uji untuk menerapkan ketentuan step transaction doctrine sebagai berikut ini:
1. Binding Commitment Test
Apabila terdapat serangkaian transaksi, maka apabila setelah tahap pertama dijalankan, ternyata ada suatu kesepakatan yang mengikat untuk menjalankan tahap yang kedua, maka transaksi yang terpisah tersebut akan dianggap tidak ada.
2. The End Result Test
Apabila terdapat transaksi yang sudah direncanakan dari awal bahwa transaksi tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan jika sampai ke tahap yang terakhir, maka transaksi yang terpisah tersebut akan dianggap tidak ada.
3. The Mutual Interdependence Test
Apabila tahap-tahap yang terpisah tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga jika suatu bentuk formal yang dibuat pada tahap yang pertama dijalankan, maka tahap pertama tersebut tidak akan mempunyai arti apapun jika tidak dijalankan sampai rangkaian dari tahap-tahap tersebut lengkap.

Dalam pasal-pasal perjanjian penghindaran pajak berganda terdapat ketentuan untuk menangkal agar suatu perjanjian penghindaran pajak berganda tidak disalahgunakan oleh subjek pajak yang tidak berhak (treay shopping) seperti pasal limitation of benefits. Akan tetapi, untuk memasukkan pasal-pasal tersebut ke dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, yang masih berlaku, tidak mudah untuk dilakukan.

Ketentuan anti penghindaran pajak domestik diperkenankan sepanjang terdapat bukti yang jelas bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda telah disalahgunakan. Walaupun suatu negara telah mempunyai SAAR untuk menangkal praktik treaty shopping, tetapi ketentuan tersebut masih belum cukup. Oleh karena itu, dibutuhkan GAAR, yang dapat dikembangkan melalui undang-undang pajak penghasilan atau melalui putusan pengadilan pajak, sebagai pelengkap. Menurut Brian J. Arnold, dalam beberapa kasus GAAR harus dapat meng-override SAAR, jika tidak, maka para pelaku penghindaran pajak akan memanfaatkan kelemahan teknis dari undang-undang pajak penghasilan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa GAAR kedudukannya lebih tinggi dari SAAR.

Sumber:

Darussalam; Hutagaol, John & Septriadi, Danny. 2010. Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar