Jumat, 12 April 2013

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (II)

PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK 
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Direktur Jenderal Oajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturang perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan dapat dilakukan melalui dua jenis pemeriksaan, yaitu:
1. Pemeriksaan Lapangan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal wajib pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak; atau
2. Pemeriksaan Kantor, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Pihak yang melakukan penyidikan adalah penyidik dimana penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan penyidik ada tiga, yaitu: 1) Agar masalah tindak pidanan perpajakan menjadi terang dan jelas; 2) Menemukan tersangka, dan 3) mengetahui besarnya jumlah pajak yang digelapkan.

KETETAPAN PAJAK
Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi: 
1. Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
2. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
4. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. SKPKBT merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. SKPKBT baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak.
Surat ketetapan pajak dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau penelitian data wajib pajak, bahwa pajak yang terutang dihitung dan dilaporkan dalam SPT tidak benar, sehingga: 1) Pajak tidak atau Kurang Dibayar, atau 2) Pajak tidak atau kurang dipotong atau dipungut. Surat Ketetapan Pajak dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila sampai dengan jangka waktu lima tahun setelah saat terutang nya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahu pajak atau tahun pajak.

PENAGIHAN PAJAK DAN PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual yang telah disita.
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Dasar hukum melakukan tindakan penagihan pajak adalah Undang-undang no. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Undang-undang ini mulai berlaku tanggal 23 Mei 1997. Undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang-undang no. 19 tahun 2000 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Pada intinya Undang-undang tersebut bertujuan untuk:
1. Membentuk keseimbangan antara kepentingan masyarakat wajib pajak dan kepentingan negara
2. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat sehingga termotivasi untuk membayar pajak
3. Meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Penagihan dengan surat paksa dilakukan apabila jumlah tagihan pajak tidak atau kurang bayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai dengan jatuh tempo penundaan pembayaran atau tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak. Apabila Wajib Pajak lalai melaksanakan kewajiban membayar pajak dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam surat teguran maka penagihan selanjutnya dilakukan oleh juru sita pajak.
Pejabat adalah orang yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Juru sita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak.
Jurusita adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan. Tugas Jurusita Pajak:
1. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
2. Memberitahukan Surat Paksa
3. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
4. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.
Langkah-langkah penagihan pajak:
1. Surat Teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat tersebut diterbitkan apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.
2. Pemberitahuan Surat Paksa dimana memuat surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
3. Penyitaan adalah tindakan yang dilakukan juru sita untuk menguasai barang milik penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak.
4. Pelelangan adalah penjualan barang di muka umum yang dipimpin oleh pejabat lelang dengan cara penawaran harga, secara terbuka/lisan, tertutup/tertulis, yang didahului dengan pengumuman lelang.

SANKSI-SANKSI PAJAK
Sanksi perpajakan dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Sanksi Administrasi
Sanksi Administrasi adalah sanksi yang dikenakan kepada wajib pajak karena melanggar ketentuan yang sifatnya formal atau administratif, dengan demikian sanksinya lebih ringan dari sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat berupa:
1) Denda, dikenakan karena pelanggaran administrasi wajib pajak, jumlah dendda bersifat tetap, tidak bertambah setiap bulannya dan tidak mengubah pokok pajak.
2) Bunga, dikenakan pada jumlah tertentu setiap bulannya. Apabila tidak dibayar maka jumlah bunga yang harus dibayar akan bertambah terus setiap bulannya.
3) Kenaikan adalah sanksi administrasi yang sifatnyan tidak bertambah tiap bulannya akan tetapi mengubah jumlah pokok pajak.
2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana adalah sanksi yang dikenakan kepada wajib pajak yang karena kealpaannya sehingga menimbulkan kerugian bagi negara.

RESTITUSI
Restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan wajib pajak tidak punya hutang pajak lain. Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan pada jenis pajak PPh, PPN, dan PPnBM, yang diakibatkan adanya produk hukum berupa SKPLB maupun keputusan keberatan atau banding yang mengakibatkan pajak yang dibayar menjadi mengalami kelebihan pembayaran. Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan melalui tahapan:
1. Pemeriksaan atau penelitian
2. Hasil pemeriksaan atau penelitian
3. Penelitian utang pajak
4. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP)
5. Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP)
6. Surat Perintah Pencairan Dana (SPPD)

TATA CARA KEBERATAN
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan syarat:
1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan wajib pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan.
2. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajak dan disertai alasan-alasan yang jelas.
3. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun/masa pajak. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.
4. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang harus dibayar paling sedikit sejumlah yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.

TATA CARA BANDING
Upaya hukum yang dilakukan oleh wajib pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan. Permohonan:
1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama tiga bulan setelah surat keputusan keberatan diterima.
2. Dilampiri salinan surat keputusan keberatan.
3. Diajukan dengan menyertakan alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal diterima putusan keberatan yang diajukan banding.
4. Diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang.
5. Satu surat banding hanya berlaku untuk satu putusan keberatan.
Wajib pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan.

PENGADILAN PAJAK
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
Kedudukan Pengadilan Pajak
1. Pengadilan pajak berkedudukan di ibukota Negara.
2. Sidang Pengadilan Pajak dilakuakn di tempat kedudukannya.
3. Apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain yang ditetapkan oleh Ketua.

Kekuasaan Pengadilan Pajak
1. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak oleh karenanya putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan Gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau Badan Peradilan lain, kecuali putusan berupa "tidak dapat diterima" yang menyangkut kewenangan/kompetensi
2. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak
3. Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau, Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
5. Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.
6. Pengadilan Pajak dapat memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan Sengketa Pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PENINJAUAN KEMBALI PAJAK
Apabila pihak yang bersangkutan tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.
Alasan-alasan Peninjauan Kembali
1. Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat;
2. Terdapat bukti tertulis baru penting dan bersifat menentukan;
3. Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut;
4. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5. Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jangka Waktu Peninjauan Kembali
1. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau ditemukan bukti tertulis baru;
2. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, 4, dan 5 diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh Pengadilan Pajak.
KASUS
Pemohon Banding    : PT ABC Fashion Industries
Jenis Pajak             : Pajak Penghasilan Pasal 23
Pokok Sengketa    : Koreksi positif objek Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran  sewa sebesar Rp62.600.000,00

Menurut Pihak Terbanding Atas Kasus Pengadilan Pajak :
Dalam berkas banding terdapat bukti-bukti yang telah dilegalisir Kantor Pelayanan Pajak Bandung Karces yaitu:
1. Perjanjian sewa menyewa tertanggal 30 Oktober 1993 yang antara  lain menjelaskan bahwa jumlah uang sewa Rp62.600.000,00 akan dibayarkan pada tanggal 30 Oktober 1993 dan surat perjanjian tersebut berlaku sebagai bukti pembayaran.
2. Bukti  pemotongan  Pajak  Penghasilan  Pasal  23  tanggal  2  September  1993  atas pembayaran :
a. Sewa   Rp 25.927.511,00 x 15%   =       Rp    3.889.127,00
b. Bunga Rp 62.600.000,00 x 15%    =       Rp    9.390.000,00
Jumlah                                                             Rp  13.279.127,00
3. Bukti setoran sebesar Rp13.279.127,00, disetor   melalui Bank Bali pada tanggal 3 September 1993.
4. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 tanggal 2 September 1993, diterima Kantor Pelayanan Pajak   Bandung Barat pada tanggal 4 September 1993.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, baik dalam Surat Ketetapan Pajak   Pajak Penghasilan Pasal 23 nomor : 00005.203.92.422.93 tanggal 5 Oktober 1993 maupun surat keputusan  Direktur  Jenderal  Pajak  nomor : KEP.001/WPJ.07/KP.1109/SKP.PPH.23/94 tanggal 7 Januari 1994 terdapat kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Menurut Pihak Pemohon  Atas Kasus Pengadilan Pajak : Perusahaan Pemohon pada tahun 1991 telah membebankan biaya sewa untuk masa 3 tahun dan sewa berakhir pada bulan Oktober 1993 sebesar Rp62.600.000,00, meskipun biaya sewa belum Pemohon lunasi, akan tetapi sesuai dengan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun  1983,  Pemohon  telah  memungut  dan  menyetorkan  Pajak  Penghasilan  Pasal  23 sebesar Rp9.390.000,00 pada bulan September 1993 untuk masa sewa 3 tahun.
Sehubungan  dengan  hal  tersebut,  Pemohon  berpendapat  tidak    lagi  terutang  Pajak Penghasilan Pasal 23 atas sewa gedung.

Pendapat Majelis Pengadilan Pajak :
Menurut  Pemohon ,  Pajak  Penghasilan  Pasal  23  dari    pembayaran  sewa  sebesar  Rp62.600.000,00 telah Pemohon pungut dan setorkan dan dalam surat banding   telah dilampirkan bukti pemotongannya.
Dalam surat uraian banding, Terbanding telah menerima bukti yang dilampirkan Pemohon dan mengakui telah terjadi kesalahan penerapan undang-undang perpajakan dan mengusulkan  untuk menerima permohonan banding pemohon, oleh karenanya  tidak ada lagi sengketa pajak.

Sumber: Berbagai Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar