Senin, 08 April 2013

Proses Integrasi Bangsa Indonesia

PROSES INTEGRASI BANGSA INDONESIA
Banyak para ahli yang memberikan pengertian tentang Integrasi. Menurut Hendropuspito OC dalam bukunya “Sosiologi Sistematik” istilah integrasi berasal dari kata latin integrare yang berarti memberikan tempat dalam suatu keseluruhan. Dari kata tersebut menurunkan kata integritas yang berarti keutuhan atau kebulatan dan integrasi berarti membuat unsur-unsur tertentu menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Secara umum integrasi diartikan sebagai pernyataan secara terencana dari bagian-bagian yang berbeda menjadi satu kesatuan yang serasi. Kata integrasi berkaitan erat dengan terbentuknya suatu bangsa, karena suatu bangsa terdiri dari berbagai unsur seperti suku/etnis, ras, tradisi, kepercayaan dan sebagainya,yang beranekaragam. Untuk itu integrasi suatu bangsa terjadi karena adanya perpaduan dari berbagai unsur tersebut, sehingga terwujud kesatuan wilayah, kesatuan politik, ekonomi, sosial maupun budaya yang membentuk jati diri bangsa tersebut. Integrasi bangsa tidak terjadi begitu saja, tetapi memerlukan suatu proses perjalanan waktu yang panjang yang harus diawali adanya kebersamaan dalam kehidupan. Kebersamaan tersebut memiliki arti yang luas yaitu kebersamaan hidup, kebersamaan pola pikir, kebersamaan tujuan dan kebersamaan kepentingan.

Dengan demikian integrasi suatu bangsa dilandasi oleh cita-cita dan tujuan yang sama, adanya saling pendekatan dan kesadaran untuk bertoleransi dan saling menghormati. Demikian pula untuk integrasi bangsa Indonesia. Mengingat Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan memiliki keanekaragaman budaya. Maka sangat memerlukan proses integrasi, karena dampak dari kemajemukan ini sangat potensial terjadinya konflik atau pertentangan. Kecenderungan terjadinya konflik di Indonesia sangatlah besar, untuk itu hendaknya setiap warga masyarakat di Indonesia harus menyadari dan mempunyai cita-cita bersama sebagai bangsa Indonesia. Cita-cita bersama sebagai bangsa Indonesia adalah sederhana tetapi agung yaitu suatu masyarakat dimana semua golongan dapat hidup rukun. Mengembangkan diri tanpa merugikan golongan lain dan bahkan membantu mendukung golongan-golongan lain, sehingga terwujud suatu masyarakat yang adil dan makmur.
Perlu juga disadari bahwa mengejar cita-cita yang demikian tidaklah mudah, bukan merupakan proses yang sekali jadi, tetapi membutuhkan waktu yang lama. Dan untuk mencapainya bukan hanya merupakan tugas orang-orang tertentu atau golongan-golongan tertentu tetapi merupakan tugas seluruh nation/bangsa yang memiliki solidaritas terhadap kebangsaan Indonesia. Dalam mengupayakan, memperjuangkan cita-cita yang luhur tersebut diperlukan pemahaman kondisi, dalam kenyataan pemahaman dari segi-segi budaya dan akhirnya kebijaksanaan yang didasarkan atas kearifan dan perhitungan sebagai integrasi dapat terwujud.
Proses integrasi bangsa Indonesia menurut A. Sartono Kartodirjo dapat dibagi dalam 2 jenis yaitu ; pertama, integrasi geopolitik yang dimulai sejak jaman prasejarah sampai awal abad 20, dan kedua, proses integrasi politik kaum elite sejak awal abad 20 sampai jaman Hindia Belanda berakhir.
Dalam proses integrasi geo politik di Indonesia mulai menonjol pada awal abad 16 dan dalam proses integrasi bangsa Indonesia tersebut banyak faktor yang berperan antara lain pelayaran dan perdagangan antar pulau serta adanya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan. Para pedagang-pedagang Islam mejadi motor penggerak terjadinya proses integrasi, hal ini karena dalam ajaran Islam tidak membedakan manusia baik berdasarkan kasta, agama, suku/etnis atau golongan. Bagi pedagang-pedangan Islam yang terpenting adalah perdagangan yang saling menguntungkan. Dengan adanya hal tersebut maka mempermudah hubungan dan komunikasi suku bangsa yang berada di Nusantara.
Sedangkan integrasi kaum elite yang berkembang pada awal abad 20 yang berperan adalah pendidikan karena dengan pendidikan lahirlah golongan intelektual Indonesia yang menyadari nasib bangsanya sehingga berusaha mengembangkan wawasan integral kebangsaan. Untuk itu integrasi politik kaum elite merupakan tulang punggung gerakan Nasionalisme Indonesia. Melalui gerakan nasionalisme maka lahirlah integrasi nasional bangsa Indonesia sampai sekarang.

PANCASILA DAN KEBHINEKAAN
Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mempunyai makna bahwa Pancasila harus kita letakkan dalam keutuhan dengan Pembukaan, dan dieksplorasikan sebagai paradigma dalam dimensi-dimensi yang melekat padanya. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dikonkritisasikan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjukkan kondisi objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ini merupakan wujud aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang demokratis tetapi tetap dalam kesatuan dan persatuan.
Jiwa dan semangat Pancasila lahir dari pertemuan hasrat dan kehendak politik pergerakan masyarakat dan dari kesadaran pada pendiri negara ini. Dari kancah perjuangan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara itulah ditemukan formulasi kearifan kenegarawanan dalam falsafah negara Pancasila. Semua orang dan semua kelompok masyarakat yang majemuk memeroleh tempat dan atas semangat yang demikian itulah, wajib kita perjuangkan agar semua lapisan masyarakat semakin memeroleh tempat dalam perumahan Republik.
Penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara bukanlah pekerjaan yang sederhana. Proses pengesahannya melalui jalan yang panjang, penuh perdebatan yang berbobot, rasa tanggung jawab yang besar terhadap nasib bangsa dan negara di kemudian hari, tetapi juga penuh dengan rasa persaudaraan yang akrab.
Kiranya perlu disadari pula bahwa kebhinekaan maupun kesatuan-kesatuan Indonesia adalah suatu kenyataan dan suatu persoalan. Walaupun proses integrasi bangsa terus berjalan, namun potensi-potensi yang disintegratif belum hilang, bahkan amat mungkin tidak pernah akan hilang. Hal itu sebagai konsekuensi kita mendasarkan diri pada Pancasila. Sebab, Pancasila dengan karakter utamanya yang inklusif dan non-diskriminatif, tidak melihat kebhinekaan dan kesatuan-persatuan sebagai suatu perlawanan, melainkan merangkul kedua-duanya.
Pancasila amat menekankan kesatuan-persatuan, tetapi tanpa mematikan atau melenyapkan kebhinekaan. Di pihak lain, Pancasila menerima serta menghargai kebhinekaan, tetapi dalam batas tidak membahayakan atau menghancurkan kesatuan-persatuan. Kebhinekaan dalam kesatuan-persatuan, dan kesatuan-persatuan dalam kebhinekaan. Di sinilah letak kesaktian Pancasila.
Dalam konstelasi masyarakat Indonesia, memilih kesatuan-persatuan dengan mematikan kebhinekaan hanya akan menghasilkan konflik-konflik yang mungkin diketahui di mana awalnya, tapi tak pernah dapat diduga di mana atau bagaimana akan berakhir.
Sebaliknya, memilih kebhinekaan dengan mengabaikan kesatuan-persatuan ibarat melepas bermacam-macam binatang buas dalam satu kandang, sehingga akan saling menerkam.
Kerangka dasar kehidupan nasional yang mendasarkan diri pada Pancasila akan melihat keragaman suku, agama, ras sebagai aset atau kekayaan bangsa. Namun, jiwa dan semangat Pancasila juga punya batas-batas yang menyangkut tetap tegaknya kesatuan-persatuan agar kebhinekaan itu tetap berfungsi sebagai kekayaan dan modal bangsa, jangan berfungsi sebaliknya.
Pada masa penjajahan, kebhinekaan dijadikan aset untuk memecah belah bangsa kita. Dalam konteks Indonesia merdeka, keadaan memang berubah cukup fundamental. Namun ini pun belum menyelesaikan seluruh persoalan. Ketika diputuskan untuk membentuk negara kesatuan Republik Indonesia, semua kelompok dalam masyarakat terikat satu sama lain dalam satu kesatuan-persatuan secara politis. Setelah melalui fase transisi, dapat dikatakan bahwa kesatuan-persatuan politis itu tetap mantap tapi kesatuan-persatuan berbangsa dan bernegara masih terkotak-kotak. Sudah ada interaksi yang dinamis, namun pada umumnya masih dalam bentuk interaksi antar-kotak, yang tidak jarang justru mengganggu proses kebhinekaan. Menghadapi permasalahan yang seperti inilah justru diperlukan pendekatan dan pola tindakan baru dalam kebersamaan demi keselamatan seluruh rakyat, terutama saat-saat bangsa kita sedang berupaya memberantas korupsi, kekerasan dan penghancuran lingkungan hidup.
Bertolak dari persoalan tersebut, barangkali faktor keselamatan seluruh rakyat itulah yang kiranya tetap merupakan perekat. Ada nasionalisme dan patriotisme, namun lebih ke dalam, antar-kita dengan manifestasi, ketulusan memberi dan menerima, ketulusan mendesak ke belakang kepentingan dan ambisi pribadi, golongan, atau suku lewat jalan Pancasila.
Jalan Pancasila tidak bisa dikatakan sebagai jalan yang mudah, tetapi sejak awal memang telah disadari bahwa memilih jalan Pancasila memang berarti memilih jalan yang tidak mudah. Juga tidak dikatakan bahwa pembatasan-pembatasan yang bersifat eksternal tidak diperlukan. Tetapi yang mesti jelas adalah, pembatasan-pembatasan eksternal saja tidaklah cukup. Itu mungkin dapat mencegah perpecahan, tetapi tidak dapat menumbuhkan kesatuan dan persatuan.
Itulah sebabnya, apabila pembatasan-pembatasan eksternal dibutuhkan, hal itu mestilah sesuatu yang dilahirkan dan diputuskan bersama berupa aturan-aturan main atau konsensus-konsensus yang bersifat yuridis formal saja, melainkan dilahirkan di tengah-tengah dan dari pengalaman-pengalaman berinteraksi secara eksternal.
Adapun aturan main atau konsensus tersebut juga harus bersifat dinamis, tidak sekali jadi melainkan terus menjadi selalu terbuka untuk dikembangkan dan melalui proses pengalaman bersama. Memaksakan aturan main secara sepihak, mungkin justru akan mematikan pertumbuhan kesadaran kesatuan dan persatuan yang eksternal dan internal. Karena itu bila ingin tetap menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara ini, tidak ada pilihan lain kecuali merevitalisasi kesaktian Pancasila, bukan sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar