Dalam dunia bisnis yang diwarnai oleh tarif pajak penghasilan yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya, bagi perusahaan multinasional yang operasionalnya meliputi beberapa negara seringkali menggunakan pajak penghasilan sebagai salah satu unsur yang dapat mengoptimalkan laba yang diperolehnya, dengan cara memaksimalkan penghasilannya di negara yang bertarif pajak rendah dan meminimalkan penghasilannya di negara yang bertarif pajak tinggi. Tindakan tersebut umumnya dilakukan dengan mengatur harga transaksi antar sesama group perusahaan atau yang mempunyai hubungan istimewa yang dikenal dengan istilah harga transfer (transfer pricing).
Dari sisi pemerintah, transfer pricing dapat mengakibatkan berkurangnya ataupun hilangnya potensi penerimaan negara khususnya pajak dari perusahaan miltinasional. Perusahaan multinasional cenderung untuk berusaha merelokasi penghasilan globalnya pada low tax country (negara yang memiliki tarif pajak rendah) dan menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada high tax country (negara yang memiliki tarif pajak tinggi). Hal ini dapat dikatakan bahwa perusahaan multinasional berusaha menggeser kewajiban pajaknya dari negara yang memiliki tarif pajak tinggi ke negara yang memiliki tarif pajak rendah.
1. Advance Pricing Agreement (APA)
Negara-negara yang melihat bahwa perbuatan tersebut dapat mengganggu penerimaan pajaknya, membuat ketentuan yang mengatur agar transaksi yang terjadi antarperusahaan yang mempunyai hubungan istimewa menggunakan harga wajar, yaitu harga yang terjadi akibat transaksi yang dilakukan oleh dua perusahaan yang masing-masing independen. Dalam rangka terdapat penyesuaian harga transfer antara otoritas pajak dengan para wajib pajak, telah diperkenalkan model “Kesepakatan Harga Transfer-Advance Pricing Agreement” sebagaimana disebutkan dalam bagian penjelasan atas pasal 18 ayat 3a UU No. 36 Th 2008 tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Prosedur penerapan APA umumnya dilakukan sebagai berikut:
a. WP mengajukan permohonan kepada Instansi Pajak untuk dapat diberlakukannya APA untuk suatu periode tertentu.
b. Selanjutnya WP mempresentasikan usulan besaran harga yang akan diterapkan lengkap dengan semua data yang diperlukan untuk menghitung besaran harga tersebut.
c. Oleh Instansi Pajak, atas usulan besaran harga tersebut dilakukan semacam pengujian untuk meyakinkan sampai sejauh mana usulan tersebut dapat diterima.
2. Metode Penentuan Harga Wajar
Sesuai ketentuan UU PPh pasal 18 ayat 3, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
a. Metode Harga Pasar Sebanding (Comparable Uncontrolled Price Method)
Metode ini diterapkan dengan pembandingan harga transaksi dari pihak yang ada hubungan isitmewa tersebut dengan harga transaksi barang sejenis dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (pembanding independen).
Contoh:
PT A memiliki 25% saham PT B. Atas penyerahan barang PT A ke PT B, PT A membebankan harga jual Rp160 per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT X yang tidak mempunyai hubungan istimewa, yaitu Rp200 per unit. Dalam hal ini, harga wajar atas barang tersebut adalah Rp200 per unit.
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method)
Metode ini diterapkan dalam hal wajib pajak yang diperiksa bergerak dalam bidang usaha perdagangan yaitu produk yang telah dibeli dijual kembali (resale) kepada pihak lainnya.
Contoh:
Berhubungan dengan contoh 1, PT B menjual kembali barang yang dibeli dari PT A kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp250 per unit. Perusahaan lain, PT C, yang independen, juga menyerahkan produk yang sama kepada PT B yang juga independen, dengan kenaikan harga jual 20%. Dengan demikian harga jual yang wajar dari PT A kepada PT B adalah Rp250 – (20% x Rp250) = Rp200.
c. Metode Harga Pokok Plus
Metode ini umumnya digunakan pada usaha pabrikasi yang menjual produk kepada afiliasinya untuk diproses lebih lanjut.
Contoh:
Berhubungan dengan contoh 1, misalnya PT A memperoleh bahan baku dan bahan pembantu dari pemasok yang tidak ada hubungan istimewa. Harga pokok barang yang diproduksi adalah Rp150 dan diketahui laba kotor yang pada umumnya diperoleh dari penjualan barang yang sama antarpihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah 40% dari harga pokok. Maka harga jual yang wajar atas barang tersebut dari PT A ke PT B adalah Rp150 + (40% x Rp150) = Rp210.
Sumber: Berbagai sumber
Mantab Sekali artikelna mbak, Terima kasih
BalasHapus