KONSEP DAN HISTORI DARI CSR
Tanggung Jawab Sosial Korporasi (Corporate Social Responsibility) telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain.
Konsep CSR
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas The World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit) melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Ada banyak definisi yang diberikan untuk konsep CSR. Dari kata-kata ‘corporate’, ‘social’ dan ‘responsibility’ yang terkandung dalam istilah ini maka CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab yang dimiliki oleh suatu perusahaan terhadap masyarakat di mana perusahaan
Definisi yang diterima luas oleh para praktisi dan aktivis CSR adalah definisi menurut The World Business Council for Sustainable Development yaitu bahwa CSR merupakan suatu komitmen terus-menerus dari pelaku bisnis untuk berlaku etis dan untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi sambil meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya, juga bagi komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya.
Dari definisi ini kita melihat pentingnya ‘sustainability’ (berkesinambungan / berkelanjutan), yaitu dilakukan secara terus menerus untuk efek jangka panjang dan bukan hanya dilakukan sekali-sekali saja. Konsep CSR memang sangat berkaitan erat dengan konsep sustainability development (pembangunan yang berkelanjutan).
Konsep CSR dengan demikian memiliki arti bahwa selain memiliki tanggung jawab untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham dan untuk menjalankan bisnisnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, suatu perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral, etika, dan filantropik. Pandangan tradisional mengenai perusahaan melihat bahwa tanggung jawab utama (jika bukan satu-satunya) perusahaan adalah semata-mata terhadap pemiliknya, atau para pemegang saham.
Adanya konsep CSR mewajibkan perusahaan untuk memiliki. pandangan yang lebih luas yaitu bahwa perusahaan juga memiliki tanggung jawab terhadap pihak-pihak lain seperti karyawan, supplier, konsumen, komunitas setempat, masyarakat secara luas, pemerintah, dan kelompok – kelompok lainnya. Dalam hal ini, jika sebelumnya pijakan tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada sisi finansial saja (single bottom line), kini dikenal konsep ‘triple bottom line’, yaitu bahwa tanggung jawab perusahaan berpijak pada 3 dasar, yaitu : finansial, sosial dan lingkungan atau yang juga dikenal dengan 3P (profit, people, planet).
Sejarah
Istilah CSR memang baru digunakan secara luas pada tahun 1960-an namun hakikat CSR mungkin adalah sama tuanya dengan bisnis itu sendiri, dan bahkan di beberapa masyarakat tertentu, seseorang tidak dapat melakukan bisnis tanpa bertanggung jawab secara sosial. Ada banyak ulasan mengenai sejarah CSR, antara lain adalah oleh J.J. Asongu yang membagi periode sejarah keberadaan konsep CSR menjadi 2 bagian, yaitu sebelum tahun 1900 dan sesudah tahun 1900.
Pada periode sebelum tahun 1900, J.J Asongu menelusuri sampai pada sekitar tahun 1700 SM pada masa pemerintahan Raja Hammurabbi di Kerajaan Mesopotamia kuno yang diketahui telah mengeluarkan sebuah peraturan yang memberikan ancaman hukuman mati terhadap para pembangun, pengurus penginapan dan petani apabila karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain, atau menyebabkan ketidaknyamanan yang sangat mengganggu bagi pihak lain. Sejarah juga mencatat bagaimana pada tahun 1622 para pemegang saham dari Dutch East India Company mengeluarkan pamflet-pamflet yang berisikan keluhan mereka atas sikap pihak manajemen yang tidak transparan dan malah memperkaya diri sendiri. Setelah tahun 1900, khususnya pada awal tahun 1920-an, menurut J.J. Asongu, diskusi-diskusi mengenai tanggung jawab sosial dari suatu organisasi bisnis telah berkembang ke tahap gerakan CSR ‘modern’.
Tim Barnett menguraikan sejarah hadirnya konsep CSR dengan merujuk pada masa ketika Adam Smith memberikan pandangannya mengenai pentingnya interaksi yang bebas antara para pihak yang melakukan bisnis. Pandangan ini masih menjadi dasar dari ekonomi pasar bebas hingga sekitar 200 tahun yang lalu. Namun bagaimana pun juga, bahkan Smith melihat bahwa pasar bebas tidak selalu berjalan dengan baik dan bahwa para pelaku pasar bebas harus berlaku jujur dan adil terhadap satu dengan yang lainnya apabila kondisi atau tujuan ideal dari pasar bebas hendak dicapai.
Satu abad setelah masa Adam Smith, Revolusi Industri memberikan kontribusi besar dalam terjadinya suatu perubahan yang radikal, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Banyak yang menganut paham ‘social Darwinism’ , yaitu pemahaman bahwa seleksi alam dan ‘survival of the fittest’ adalah berlaku juga untuk dunia bisnis. Akibatnya, diberlakukanlah strategi kompetisi bisnis yang brutal dan tidak peduli terhadap karyawan, komunitas dan masyarakat luas. Meski ada pengusaha-pengusaha yang memberikan banyak sumbangan, namun itu adalah sebagai pribadi dan bukan atas nama perusahaan. Perusahaan-perusahaan saat itu malah mempraktekkan suatu metode yang sangat eksploitatif terhadap para pekerjanya.
Sekitar permulaan abad ke-20, reaksi keras terhadap perusahaan-perusahaan besar mulai mendapatkan momentumnya. Usaha-usaha besar dikritik terlalu berkuasa dan telah mempraktikkan bisnis yang antisosial dan anti persaingan. Maka muncullah peraturan seperti Sherman Antitrust Act yang bertujuan mengontrol perusahan-perusahaan besar dan melindungi pekerja, konsumen, dan masyarakat luas. Juga semakin banyak yang menyuarakan dan meminta kepedulian yang lebih besar terhadap kelas pekerja dan orang miskin. Gerakan buruh juga meminta pelaku bisnis untuk memiliki kepedulian sosial yang lebih besar. Antara tahun 1900 dan 1960 dunia bisnis secara perlahan-lahan mulai menerima tanggung jawab tambahan selain semata-mata mendapatkan laba dan menaati hukum.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan hak-hak masyarakat dan para aktivis lingkungan mempengaruhi harapan-harapan masyarakat dari dunia bisnis. Berdasarkan asumsi umum bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang besar juga memiliki tanggung jawab yang besar, maka banyak yang menyuarakan agar dunia bisnis menjadi lebih proaktif dalam menghentikan aktifitas-aktifitas yang mengakibatkan terjadinya masalah sosial dan mulai berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Wacana mengenai konsep ini terus berkembang sampai KTT Bumi pada tahun 1992 di Rio menegaskan konsep sustainability development (pembangunan berkelanjutan) yang tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara, namun terlebih lagi perusahaan yang kekuasaannya makin menggurita. Hasil KTT Bumi di atas makin dipertegas melalui riset yang dilakukan oleh James Colins dan Jerry Porras, ditunjukan bahwa perusahaan-perusahaan yang bertahan lama bukanlah perusahaan yang hanya mengejar profit semata.
Selanjutnya, pertemuan di Johannesburg pada tahun 2002 yang dihadiri oleh para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengikuti dua konsep yang telah muncul sebelumnya yaitu economic dan environmental sustainability yang kemudian menjadi dasar bagi perusahaan di atas dalam melakukan tanggung jawab sosialnya (CSR). Terakhir pada pertengahan tahun 2007 yang lalu, pada UN Global Compact yang dibuka oleh SekJen PBB, pertemuan tersebut meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan prilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Hingga saat ini, konsep corporate social responsibility telah menjadi paham yang diterima secara umum untuk diterapkan oleh dunia usaha.
CSR di Indonesia
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional.
pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya stakeholders atau para pemegang saham. Melainkan stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004). Beberapa perusahaan bahkan ada yang menjalankan kegiatan serupa CSR, meskipun tim dan programnya tidak secara jelas berbendera CSR (Suharto, 2007).
Diantara negara-negara di Asia, penetrasi aktivitas CSR di Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2005 baru ada 27 perusahaan yang memberikan laporan mengenai aktivitas CSR yang dilaksanakannya.
Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen sejak tahun 2005 mengadakan Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) . Secara umum ISRA bertujuan untuk mempromosikan voluntary reporting CSR kepada perusahaan di Indonesia dengan memberikan penghargaan kepada perusahaan yang membuat laporan terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan yang diberikan adalah Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Environmental Reporting Award, dan Best Website.
Dalam hal kebijakan pemerintah, perhatian pemerintah terhadap CSR tertuang dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007) Bab V Pasal 74. Walaupun hanya mewajibkan pelaksanaan aktivitas CSR untuk perusahaan di bidang pertambangan, Undang-Undang tersebut menimbulkan kontrovesi dikarenakan kebijakan mewajibkan aktivitas CSR bukan merupakan kebijakan umum yang dilakukan di negara-negara lain. Kontrovesi juga timbul dari adanya kekhawatiran munculnya peraturan pelaksanaan yang memberatkan para pengusaha.
ISU DALAM PELAKSANAAN CSR
Beberapa tahun terakhir ini, isu CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia telah menjadi isu yang sering dibicarakan dalam berbagai kesempatan. Semakin banyak seminar atau diskusi yang dilakukan untuk membahas hal ini. Apalagi dengan semakin seringnya terjadi permasalahan yang berkaitan dengan CSR, salah satunya adalah peristiwa banjir lumpur di Sidoarjo yang melibatkan salah satu perusahaan nasional. Peristiwa lumpur di Sidoarjo menunjukan betapa lemahnya pelaksanaan CSR di Indonesia. Dapat dilihat betapa masyarakat dirugikan dengan kehilangan penghasilan, harta benda dan juga harus meninggalkan tempat tinggal. Tidak saja masyarakat, negara juga ikut menanggung kerugian yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari pengalokasian dana APBN dalam penanggulangan banjir lumpur di Sidoarjo.
Salah satu lambannya pelaksanaan CSR di Indonesia adalah tidak adanya instrumen hukum yang komprehensif yang mengatur CSR. Instrumen hukum sangat diperlukan sekali untuk mendorong pelaksanaan CSR di Indonesia. Pada saat ini, memang sudah tedapat peraturan yang terkait dengan CSR seperti Undang-Undang (UU) Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun UU tersebut belum mampu mendorong pelaksanaan CSR di lapangan. Apalagi dalam UU tersebut hal yang diatur masih terbatas. Hanya berkaitan dengan hal tertentu saja. Padahal CSR tidak saja berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan tehadap lingkungan dalam arti sempit, namun juga dalam arti luas seperti tanggung jawab perusahaan terhadap pendidikan, perekonomian, dan kesejahteraan rakyat sekitar.
Hal ini di atas tentunya menjadi sebuah pelajaran yang berharga untuk segera dicari jalan keluarnya. Oleh karena itu membuat regulasi mengenai CSR merupakan jalan terbaik. Regulasi yang dimaksud adalah dengan membuat produk hukum ( UU ) yang akan mengatur secara tegas, jelas, dan komprehensif mengenai CSR. UU ini dibutuhkan agar CSR dilaksanakan oleh semua perusahaan dan memberikan manfaat nyata bagi semua stake holder yang ada.
Pelaksanaan CSR selama ini hanya didasarkan kepada kesadaran dan komitmen perusahaan. Padahal komitmen dan kesadaran setiap perusahaan tidak sama dan sangat tergantung sekali kepada kebijakan perusahaan masing-masing. Menggantungkan pelaksanaan CSR kepada kesadaran dan komiteman perusahaan mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan paling mendasar adalah tidak adanya sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR. Kondisi ini tidak akan mendorong pelaksanaan CSR di Indonesia. Selama ini juga, bagi perusahaan yang melaksanakan CSR tidak memilki arah yang jelas. Padahal ada banyak sekali manfaat yang diperoleh apabila CSR dilaksanakan dengan aturan dan arahan yang jelas.
Kelemahan lain dengan tidak adanya regulasi yang jelas tentang CSR adalah semakin dirugikannya masyarakat dan juga negara. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia seperti banjir lumpur, banjir karena pembalakan hutan dan pencemaran lingkungan di berbagai tempat menunjukan bahwa pelaksanaan CSR merupakan suatu kemutlakan. Apabila kondisi seperti sekarang terus berlanjut, maka yang menanggung kerugian terbesar adalah masyarakat dan negara.
Regulasi CSR juga sebenarnya bukan hal baru dalam dunia korporasi. Di berbagai negara maju, setiap perusahaan sudah diwajibkan untuk pelaksanaan CSR dan melaporkannya secara periodik. Hal ini dilakukan untuk memantau dan mengontrol pelaksanaan CSR setiap perusahaan. Regulasi yang ada juga memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggaran terhadap pelaksanaan CSR. Sanksi yang diberikan mulai dari yang ringan seperti peringatan tertulis hingga dikeluarkan dari lantai bursa bagi perusahaan go public.
Tentunya, UU yang akan dibuat harus disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. UU yang ada harus mampu menjembatani kepentingan semua pihak. Pelaku usaha dengan motif laba, tentunya tidak akan setuju apabila regulasi yang ada mengganggu kepentingan mereka. Masyarakat juga selaku pihak yang menerima dampak dari kehadiran perusahaan menuntut adanya kontribusi nyata bagi kehidupan mereka. Oleh karena itu UU yang dibuat harus mampu mengakomodasi semua stake holder.
PROSES DARI AKTIVITAS CSR
Dalam
implementasi CSR ini public relations (PR) mempunyai peran penting, baik secara
internal maupun eksternal. Dalam konteks pembentukan citra perusahaan, di semua
bidang pembahasan di atas boleh dikatakan PR terlibat di dalamnya, sejak fact
finding, planning, communicating, hingga evaluation. Jadi ketika kita
membicarakan CSR berarti kita juga membicarakan PR sebuah perusahaan, di mana
CSR merupakan bagian dari community relations. Karena CSR pada dasarnya adalah
kegiatan PR, maka langkah-langkah dalam proses PR pun mewarnai langkah-langkah
CSR.
Ada dua
pendekatan dalam community relations. Pertama, dalam konsep PR lama yang
memosisikan organisasi sebagai pemberi donasi, maka program community relations
hanyalah bagian dari aksi dan komunikasi dalam proses PR. Bila berdasarkan
pengumpulan fakta dan perumusan masalah ditemukan bahwa permasalahan yang
mendesak adalah menangani komunitas, maka dalam perencanaan akan disusun
program community relations. Ini kemudian dijalankan melalui aksi dan
komunikasi. Kedua, yang memosisikan komunitas sebagai mitra, dan konsep
komunitasnya bukan sekedar kumpulan orang yang berdiam di sekitar wilayah
operasi organisasi, community relations dianggap sebagai program tersendiri
yang merupakan wujud tanggungjawab sosial organisasi.
Dengan
menggunakan tahapan-tahapan dalam proses PR yang bersifat siklis, maka program
dan kegiatan CSR dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:
1.
Pengumpulan
Fakta
Banyak permasalahan
yang dihadapi masyarakat sekitar daerah operasional perusahaan. Mulai dari
permasalahan lingkungan seperti polusi, sanitasi lingkungan, pencemaran sumber
daya air, penggundulan hutan sampai dengan permasalahan ekonomi seperti tingkat
pengangguran yang tinggi, sumber daya manusia yang tidak berketerampilan,
rendahnya kemauan berwirausaha dan tingkat produktivitas individu yang rendah.
PR bisa mengumpulkan
data tentang permasalahan tersebut dari berbagai sumber, misalnya dari berita
media massa, data statistik, obrolan warga, atau keluhan langsung dari
masyarakat. Selain itu masih banyak sumber yang bisa digunakan untuk
mengumpulkan fakta mengenai persoalan sosial yang dihadapi komunitas. PR juga
bisa menelusuri laporan-laporan hasil penelitian yang dilakukan perguruan
tinggi atau LSM mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat.
2.
Perumusan
Masalah
Masalah secara
sederhana bisa dirumuskan sebagai kesenjangan antara yang diharapkan dengan
yang dialami, yang untuk menyelesaikannya diperlukan kemampuan menggunakan
pikiran dan keterampilan secara tepat. Misalnya, dari pengumpulan fakta
diketahui salah satu masalah yang mendesak dan bisa diselesaikan dengan
memanfaatkan sumber daya yang dimiliki organisasi adalah rendahnya keterampilan
para pemuda sehingga tak bisa bersaing di pasar kerja atau tak bisa diandalkan
untuk membuka lapangan kerja bagi dirinya. Berdasarkan hal tersebut, maka
dirumuskan permasalahan: Rendahnya keterampilan kerja pemuda lulusan sekolah
menengah.
Namun tidak semua
pemuda tamatan sekolah menengah yang rendah tingkat keterampilan kerjanya yang
diidentifikasi sebagai masalah. Namun terbatas pada komunitas sekitar lokasi
perusahaan atau di beberapa kota. Jadi, dalam merumuskan masalah tersebut PR
mulai memfokuskan pada komunitas organisasi. Bila komunitasnya dirumuskan
secara sederhana, berarti komunitas berdasarkan lokasi yakni komunitas sekitar
wilayah operasi korporat. Namun bila komunitasnya dipandang sebagai struktur
interaksi maka komunitas tersebut lepas dari pertimbangan kewilayahan, tetapi
lebih pada pertimbangan kesamaan kepentingan.
3.
Perencanaan
dan Pemrograman
Perencanaan merupakan
sebuah prakiraan yang didasarkan pada fakta dan informasi tentang sesuatu yang
akan terwujud atau terjadi nanti. Untuk mewujudkan apa yang diperkirakan itu
dibuatlah suatu program. Setiap program biasanya diisi dengan berbagai
kegiatan. Kegiatan sebagai bagian dari program merupakan langkah-langkah yang
ditempuh untuk mewujudkan program guna mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Kembali kepada
perumusan masalah tentang rendahnya keterampilan kerja pemuda lulusan sekolah
menengah, maka PR menyusun rencana untuk mencapai tujuan agar para pemuda
lulusan sekolah menengah itu memiliki keterampilan kerja yang bisa digunakan
untuk mencari kerja atau membuka lapangan kerja bagi dirinya sendiri. Untuk
mencapai tujuan tersebut, program yang disusun misalnya menyelenggarakan
program pendidikan dan pelatihan bagi mereka.
4.
Aksi
dan Komunikasi
Aspek dari aksi dan
komunikasi inilah yang membedakan kegiatan community relations dalam konteks PR
dan bukan PR. Di mana watak PR ditampilkan lewat kegiatan komunikasi. PR pada
dasarnya merupakan proses komunikasi dua arah yang bertujuan untuk membangun
dan menjaga reputasi dan citra organisasi di mata publiknya. Karena itu, dalam
program CSR selalu ada aspek bagaimana menyusun pesan yang ingin disampaikan
kepada komunitas, serta melalui media apa dan cara bagaimana.
Sedangkan aksi dalam
implementasi program yang sudah direncanakan, pada dasarnya sama saja dengan
implementasi program apa pun. Kembali pada contoh kasus awal, ketika program
pendidikan dan pelatihan keterampilan itu dijalankan, harus ada ruangan, baik
untuk penyampaian teori maupun bengkel kerja sebagai tempat praktik. Di situlah
aksi pendidikan dan pelatihan dijalankan. Di dalamnya tentu saja ada komunikasi
yang menjelaskan kenapa program itu dijalankan, juga masalah tanggungjawab
sosial organisasi pada komunitasnya sehingga memilih untuk menjalankan program
kegiatan tersebut. Dengan begitu diharapkan akan berkembang pandangan yang
positif dari komunitas terhadap organisasi sehingga reputasi dan citra
organisasi menjadi baik.
5.
Evaluasi
Evaluasi merupakan
keharusan pada setiap akhir program atau kegiatan untuk mengetahui efektivitas
dan efisiensi program. Berdasarkan hasil evaluasi ini bisa diketahui apakah
program bisa dilanjutkan, dihentikan atau dilanjutkan dengan melakukan beberapa
perbaikan dan penyempurnaan. Namun dalam konteks community relations perlu
diingat bahwa evaluasi bukan hanya dilakukan terhadap penyelenggaraan program
atau kegiatan belaka. Melainkan juga dievaluasi bagaimana sikap komunitas
terhadap organisasi. Evaluasi atas sikap publik ini diperlukan karena, pada
dasarnya community relations ini meski merupakan wujud tanggungjawab sosial
organisasi, tetap merupakan kegiatan PR.
DAMPAK LINGKUNGAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM
BISNIS GLOBAL
ISU EKOLOGI DAN LINGKUNGAN SOSIAL
Isu
ekologi semakin mengemuka ditengah perkembangan global yang semakin pesat dan
dinamis. Adanya perubahan ekologi yang diakibatkan oleh aktivitas sosial akan
berdampak secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan
sosial tempat masyarakat itu berkembang. Dalam hubungannya dengan Pembangunan
berkelanjutan, isu ekologi merupakan peran kunci akan tumbuh kembang suatu
peradaban sosial. Sebagai contoh yang nyata hubungan antara isu ekologi dan
lingkungan sosial dewasa ini adalah adanya perubahan ekologi secara global yang
diakibatkan oleh pemanasan global.
Pemanasan
Global yang timbul akibat aktivitas manusia dari proses pembakaran bahan bakar
fosil mengakibatkan adanya perubahan iklim yang masiv di dunia. Adanya
perubahan iklim tersebut ternyata juga mempengaruhi lingkungan sosial
masyarakat. Sebagai contoh misalnya akibat adanya kenaikan rata-rata suhu bumi
dalam satu sisi menimbulkan bencana, tetapi dalam satu sisi juga menguntungkan
bagi produsen Air Conditioner (AC).
Tak bisa dipungkiri, karena suhu bumi
yang semakin tinggi mengakibatkan adanya fenomena sosial di masyarakat
berupa tingginya daya beli masyarakat terhadap penyejuk udara. Produsen AC akan
diuntungkan, begitu pula tenaga kerja untuk menunjang operasional pabrik akan
semakin banyak diserap.
Akan
tetapi pemanasan global jauh lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada
dampak positivnya, pemakaian bahan bakar fosil yang notabene tidak ramah
lingkungan sangat bertentangan dengan tujuan dari pembangunan berkelanjutan.
Hal ini dikarenakan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, tidak hanya akan
ditanggung pada masa sekarang, tetapi akan ditanggung juga oleh anak cucu kita
kelak. Dampak lain yang juga terasa akibat pemanasan global adalah berkurangnya
produktivitas pangan. Perubahan iklim yang ekstrem berakibat pada kacaunya pola
bercocok tanam dan imbasnya adalah merosotnya produktivitas pangan. Hal
tersebut jelas menjadi ancaman bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
ISU DARI MASYARAKAT GLOBAL TERHADAP DAMPAK LINGKUNGAN DAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Isu dari adanya pembangunan
berkelanjutan mengemuka di dunia ketika
adanya Brundtland Report pada
tahun 1980, semakin diintensifkan dengan Konferensi PBB mengenai Lingkungan
Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro
tahun 1992. Konferensi ini melahirkan Agenda 21 yang ditandatangani oleh 178
kepala negara sebagai langkah konkret bagi implementasi pembangunan
berkelanjutan pada skala global. Sepuluh tahun setelah Rio Conference,
PBB pada tahun 2002 kembali menyelenggarakan konferensi di Johannesburg dengan
judul “The 2002 World Summit for Sustainable Development” untuk
mengevaluasi perkembangan penerapan visi pembangunan berkelanjutan di dunia.
Definisi pembangunan berkelanjutan yang telah dikenal oleh masyarakat luas yang
dituangkan dalam Our Common Future atau Brundtland Report (WCED
1987:43): Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat pada masa sekarang tanpa mengurangi dan atau menghilangkan kemampuan
generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya kelak. Namun pada kenyataannya,
pembangunan berkelanjutan mengalami berbagai kendala multidimensional untuk
benar-benar mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan tersebut.
Cahyandito (2005), menyatakan bahwa
ada pada prinsipnya, ada
tiga dimensi utama pembangunan berkelanjutan yaitu lingkungan hidup, sosial dan
ekonomi. Berikut ini adalah masalah-masalah utama yang ada pada setiap dimensi
tersebut :
1.
Dimensi Ekologi
Dalam era globalisasi
dan mobilitas manusia yang sangat besar, mengakibatkan adanya eksplorasi
lingkungan secara besar-besaran. Hal tersebut dilakukan untuk menjalankan
aktivitas perekonomian untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam satu sisi,
pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan kesejahteraan juga akan meningkat, tapi
disisi lain eksplorasi terhadap sumber daya alam secara berlebihan akan
mengakibatkan degradasi lingkungan. Dampaknya akan lebih buruk apabila tidak
ditangani dengan manajemen pengelolaan lingkungan yang baik.
2.
Dimensi
Sosial
Permasalahan pada
dimensi sosial yang menjadi tantangan dari pembangunan berkelanjutan adalah pertumbuhan jumlah penduduk dunia.
Dalam kurun waktu seratus tahun terakhir, pertumbuhan penduduk melonjak cepat
terutama pada negara berkembang (UNDP, 2002). Diperkirakan jumlah penduduk
dunia akan naik sampai 7,8 milyar orang pada tahun 2025, dimana 6,7 milyar
orang hidup di Negara berkembang. Kenaikan jumlah penduduk ini antara lain
disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya rendahnya tingkat pendidikan, tidak
memadainya jaminan sosial pada Negara yang bersangkutan, budaya dan
agama/kepercayaan, urbanisasi, dan diskriminasi terhadap wanita .
3.
Dimensi
Ekonomi
Masalah utama pada
dimensi ekonomi adalah perubahan global dan globalisasi. Maksudnya adalah
perubahan keadaan lingkungan hidup (ekologi) global, globalisasi ekonomi,
perubahan budaya dan konflik utara-selatan. Globalisasi yang muncul sejak tahun
1990-an, tidak dapat dibendung kehadirannya dan mau tidak mau harus dihadapi
oleh setiap negara. Kemajuan teknologi, komunikasi dan telekomunikasi serta
transportasi semakin mendukung arus globalisasi sehingga hubungan ekonomi antar
negara dan region menjadi sangat mudah.
MENGELOLA ISU LINGKUNGAN
PERANAN PEMERINTAH DAN REGULASI
Kebijakan-kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan pencemaran dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan
lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta
pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat
kebijakan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung
pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan
kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat
hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Keterkaitan dan keseluruhan
aspek lingkungan telah memberi konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan,
termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi
berintegrasi dengan seluruh pelaksanaan pembangunan.
Kebijakan daerah
dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan
dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di
daerah dapat meliputi :
1. Regulasi
Perda tentang Lingkungan.
2. Penguatan
Kelembagaan Lingkungan Hidup.
3. Penerapan
dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
4. Sosialisasi/pendidikan
tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup.
5. Meningkatkan
kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders
6. Pengawasan
terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
7. Memformulasikan
bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup. Peningkatan kualitas dan
kuantitas sumberdaya manusia.
8. Peningkatan
pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Peranan
pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang dibuat
Pemanfaatan SDA
secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek pelestariannya dapat meningkatkan
tekanan-tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup yang pada akahirnya akan
mengancam swasembada atau kecukupan pangan semua penduduk di Indonesia. Oleh
karena peran pemerintah dalam memberikan kebjakan tentang peraturan pengelolaan
SDA menjadi hal yang penting sebagai langkah menjaga SDA yang berkelanjutan.
Kebijakan yang
di buat oleh pemerintah tidak hanya ditetapkan untuk dilaksanakan masyarakat
tanpa pengawasan lebih lanjut dari pemerintah. Pemerintah memiliki peran agar
kebijakan tersebut diterapkan sebagaimana mestinya oleh masyarakat. Sesuai dengan
Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui
transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah:
1. Meletakkan
daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
2. Memerlukan
peranan lokal dalam mendesain kebijakan.
3. Membangun
hubungan interdependensi antar daerah.
4. Menetapkan
pendekatan kewilayahan.
Kebijakan
nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan
program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Program itu mencakup :
1. Program
Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program
ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap
mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui
inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang
ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial,
nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di
setiap daerah.
2. Program
Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya
Alam.
Tujuan
dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral.
Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber
daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan
berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan
konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak
terkendali dan eksploitatif
3. Program
Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan
program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah
kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang
rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan
industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas
lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup
yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
4. Program
Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program
ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat
hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan
sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan.
Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan
serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
5. Progam
Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan
Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan
dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak
yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan
hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan,
pelaksanaan sampai pengawasan.
BIAYA DAN MANFAAT DALAM MENGELOLA LINGKUNGAN
Akuntansi
Lingkungan (Environment Accounting/EA)
Praktek-praktek
akuntansi tradisional seringkali melihat biaya lingkungan sebagai biaya
mengoperasikan bisnis, meskipun biaya-biaya tersebut signifikan, meliputi:
biaya sumber daya, yaitu mereka yang secara langsung berhubungan dengan
produksi dan mereka yang terlibat dalam operasi bisnis umum, pengolahan limbah,
dan biaya pembuangan. Biaya reputasi lingkungan, dan biaya membayar premi
asuransi risiko lingkungan.
Dalam
banyak kasus, biaya-biaya lingkungan seperti yang berkaitan dengan sumber daya
alam (energi, udara, air) dimasukkan ke dalam satu jalur ‘biaya operasi’ atau
‘biaya administrasi’ yang diperlakukan independen dengan proses produksi. Juga
biaya lingkungan sering didefinisikan secara sempit sebagai biaya yang terjadi
dalam upaya pemenuhan dengan atau kaitan dengan hukum atau peraturan
lingkungan. Hal ini karena sistem akuntansi cenderung berfokus pada biaya
bisnis yang teridentifikasi secara jelas, bukan pada biaya dan manfaat pilihan
alternatif.
Akuntansi
Lingkungan (Environment Accounting) adalah biaya-biaya lingkungan yang
dimasukkannya ke dalam praktik akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintah.
Sedangkan, menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau United
States Environment Protection Agency (US EPA), akuntansi lingkungan merupakan
fungsi yang menggambarkan biaya-biaya lingkungan yang harus diperhatikan oleh
pemangku kepentingan perusahaan di dalam pengidentifikasian cara-cara yang
dapat mengurangi atau menghindari biaya-biaya pada waktu yang bersamaan dengan
usaha memperbaiki kualitas lingkungan. Oleh karena itu, akuntansi lingkungan
mempunyai pengertian yang sama dengan akuntansi biaya lingkungan yaitu sebagai
penggabungan informasi manfaat dan biaya lingkungan kedalam praktik akuntansi
perusahaan atau pemerintah dengan mengidentifikasikan cara-cara yang dapat
mengurangi atau menghindari biaya perbaikan.
Akuntansi
Lingkungan secara spesifik mendefinisikan dan menggabungkan semua biaya
lingkungan ke dalam laporan keuangan perusahaan. Bila biaya-biaya tersebut
secara jelas teridentifikasi, perusahaan akan cenderung mengambil keuntungan
dari peluang-peluang untuk mengurangi dampak lingkungan. Manfaat-manfaat dari
mengadopsi akuntansi lingkungan dapat meliputi:
1. Perkiraan
yang lebih baik dari biaya sebenarnya pada perusahaan untuk memproduksi produk
atau jasa. Ini bermuara memperbaiki harga dan profitabilitas.
2. Mengidentifikasi
biaya-biaya sebenarnya dari produk, proses, sistem, atau fasilitas dan
menjabarkan biaya-biaya tersebut pada tanggungjawab manajer.
3. Membantu
manajer untuk menargetkan area operasi bagi pengurangan biaya dan perbaikan
dalam ukuran lingkungan dan kualitas.
4. Membantu
dengan penanganan keefektifan biaya lingkungan atau ukuran perbaikan kualitas.
5. Memotivasi
staf untuk mencari cara yang kreatif untuk mengurangi biaya-biaya lingkungan.
6. Mendorong
perubahan dalam proses untuk mengurangi penggunaan sumber daya dan mengurangi,
mendaur ulang, atau mengidentifikasi pasar bagi limbah.
7. Meningkatkan
kepedulian staf terhadap isu-isu lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja.
8. Meningkatkan
penerimaan konsumen pada produk atau jasa perusahaan dan sekaligus meningkatkan
daya kompetitif.
Biaya Lingkungan
Biaya lingkungan
adalah biaya yang ditimbulkan akibat adanya kualitas lingkungan yang rendah,
sebagai akibat dari proses produksi yang dilakukan perusahaan. Biaya lingkungan juga diartikan
sebagai dampak, baik moneter atau non-moneter yang terjadi oleh hasil aktifitas
perusahaan yang berpengaruh pada kualitas lingkungan.
Biaya
lingkungan juga merupakan pengorbanan untuk menjaga kelestarian perusahaan.
Yang dimaksud lingkungan perusahaan adalah objek di luar perusahaan yang
terdiri dari:
1. Lingkungan
alam : Polusi udara dan air, kerusakan alam, biaya kerusakan alam,
2. Lingkungan
Ekonomi : Agraris subsistens, agraris komersial, perdagangan dan industri,
biaya krisis ekonomi (buruh mogok, dsb),
3. Lingkungan
Sosial : Pranata sosial, lembaga sosial, biaya krisis sosial (protes
masyarakat),
4. Lingkungan
politik : Pajak dan pungutan lainnya, kebijakan fiskal dan moneter, ideologi,
biaya kebijakan politik (BBM, Pajak, dan sebagainya),
5. Lingkungan
budaya : Adat-istiadat, kepercayaan, biaya kerusakan budaya (dekadensi moral).
Kelima
lingkungan itu harus dikelola oleh perusahaan agar dampaknya tidak menimbulkan
kerugian.
Kerusakan
lingkungan akan berdampak terhadap biaya perusahaan, dan akhirnya akan
mengakibatkan kerugian perusahaan. Misalnya, lingkungan alam yang rusak (polusi
udara, air, kerusakan tanah), mengakibatkan naiknya biaya, lingkungan ekonomi
yang rusak (kenaikan valuta asing) akan menaikkan biaya, lingkungan sosial yang
rusak (huru-hara) mengakibatkan biaya produksi naik, lingkungan politik yang
rusak karena adanya pungutan liar, mengakibatkan naiknya biaya overhead
perusahaan, dan lingkungan budaya yang rusak karena pengaruh narkoba,
mengakibatkan produktivitas kerja rendah. Semuanya itu berdampak pada naiknya
biaya dan penurunan pendapatan perusahaan, yang berakibat kerugian.
Bagaimana
perusahaan menjelaskan biaya lingkungan tergantung pada bagaimana perusahaan
menggunakan informasi biaya tersebut (alokasi biaya, penganggaran modal, desain
proses/produk, keputusan manajemen lain), dan skala atau cakupan aplikasinya.
Tidak selalu jelas apakah biaya itu masuk lingkungan atau tidak, beberapa masuk
zona abu-abu atau mungkin diklasifikasikan sebagian lingkungan sebagian lagi
tidak.
Terminologi
akuntansi lingkungan menggunakan ungkapan seperti full, total, true, dan life cycle untuk menegaskan bahwa
pendekatan tradisional adalah tidak lengkap cakupannya karena mereka
mengabaikan biaya lingkungan penting (serta pendapatan dan penghematan biaya).
Klasifikasi Biaya Lingkungan
Ronald
Hilton membagi jenis biaya lingkungan sebagai
berikut:
1. Biaya lingkungan Private vs Sosial. Satu perbedaan penting antara biaya privat dan sosial
(atau biaya publik). Biaya lingkungan private yang ditanggung oleh perusahaan atau individu. Contohnya
biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mematuhi peraturan EPA atau untuk
membersihkan danau yang tercemar. Biaya lingkungan sosial yang
ditanggung oleh masyarakat luas. Contoh ini meliputi biaya-biaya yang
ditanggung oleh pembayar pajak kepada staf EPA, biaya ditanggung oleh pembayar
pajak untuk membersihkan sebuah danau atau sungai tercemar, biaya ditanggung
oleh individu, perusahaan asuransi dan Medicare
karena masalah kesehatan yang disebabkan oleh polutan, dan kualitas hidup unquantifiable, kita menanggung semua biaya dari lingkungan yang rusak.
Sementara biaya-biaya lingkungan sosial penting bagi kita semua, kita akan
memusatkan perhatian pada manajemen biaya lingkungan
(environmental cost management),
yang merupakan upaya sistematis untuk mengukur dan mengendalikan atau
mengurangi biaya lingkungan private yang ditanggung oleh perusahaan atau organisasi lainnya.
2. Biaya Lingkungan Terlihat (Visible
) vs Tersembunyi
(Hidden). Biaya lingkungan sosial dan private dapat terlihat atau tersembunyi. Biaya lingkungan sosial terlihat (Visible)
adalah yang dikenal dan diidentifikasi dengan
jelas terkait dengan isu-isu lingkungan, seperti biaya
pembayar pajak dari staf EPA atau membersihkan danau yang tercemar. Biaya lingkungan sosial tersembunyi
(hidden) termasuk yang disebabkan oleh
isu-isu lingkungan tetapi belum begitu diidentifikasi, seperti biaya yang
ditanggung oleh individu, perusahaan asuransi, atau Medicare karena kanker yang disebabkan oleh polusi, tetapi tidak
diidentifikasi dengan jelas seperti itu. Sebagai contoh, adalah melanoma (jenis
kanker kulit serius) yang disebabkan oleh kecenderungan keturunan, kegagalan dalam menggunakan sun block, atau penipisan lapisan ozon yang
dihasilkan dari emisi industri chlorofluorocarbons.
United
States Environmental Protection Agency (EPA)
mengklasifikasikan biaya lingkungan dalam biaya konvensional, biaya
tersembunyi, biaya kontingen, biaya image dan biaya sosial:
1. Biaya
konvensional: biaya penggunaan material,
utilitas, barang modal, dan bahan pembantu yang dimasukkan sebagai harga barang
jadi tetapi seringkali tidak dimasukkan sebagai biaya lingkungan. Akan tetapi,
penggunaan yang berkurang dari bahan-bahan di atas dan limbah yang berkurang
lebih menguntungkan secara lingkungan.
2. Biaya
tersembunyi adalah biaya tidak langsung yang
berkaitan dengan desain produk dan proses yang ramah lingkungan, dan lain-lain.
3. Biaya
kontingen adalah biaya yang mungkin termasuk atau
tidak termasuk pada waktu yang akan datang, misalnya: biaya kompensasi karena
‘kecelakaan’ lingkungan, denda dan lain-lain.
4. Biaya
Image adalah biaya lingkungan yang
bersifat intangible karena dinilai secara subyektif.
5. Biaya
sosial merupakan biaya dari pengaruh bisnis
pada lingkungan dan masyarakat disekitarnya, biaya ini juga disebut biaya
eksternal atau externalities.
Biaya
lingkungan menurut Schaltegger terbagi menjadi dua, yaitu biaya internal
perusahaan dan biaya eksternal.
1. Biaya lingkungan yang bersifat internal perusahaan
meliputi biaya penanganan limbah, biaya pelatihan yang berhubungan dengan
permasalahan lingkungan, biaya pelabelan yang berhubungan dengan lingkungan,
biaya pengurusan perijinan, biaya sertifikasi lingkungan, dan sebagainya.
2. Biaya lingkungan yang bersifat eksternal
meliputi biaya berkurangnya sumber daya alam, biaya polusi suara, biaya
tercemarnya air, dan sebagainya.
Biaya
lingkungan juga dapat dibedakan menjadi dua secara akuntansi, yaitu menjadi
biaya langsung dan biaya tidak langsung.
1. Biaya lingkungan langsung adalah
biaya-biaya yang dapat ditelusuri secara langsung pada objek (misalnya biaya
tenaga kerja akibat proses, biaya manajer untuk suatu produk, biaya penggunaan
energi untuk produk, dan lain-lain).
2. Biaya lingkungan tidak langsung
adalah biaya yang dialokasikan untuk biaya obyek (biaya pelatihan mengenai
lingkungan, biaya gaji manajer lingkungan, biaya pembelian produk yang tidak
berpengaruh langsung terhadap proses, dan sebagainya).
Strategi Biaya Lingkungan
Ada
tiga strategi untuk mengelola biaya lingkungan.
1. Strategi Akhir dari pipa (End
of pipe strategy). Dalam pendekatan
ini, perusahaan menghasilkan limbah atau polutan, dan kemudian membersihkannya
sebelum dibuang ke lingkungan. Scrubber
cerobong asap, pengolahan air limbah, dan filter karbon udara adalah
contoh-contoh strategi akhir pipa.
2. Strategi Proses perbaikan
(Process improvement strategy).
Dalam pendekatan ini, perusahaan memodifikasi produk dan proses produksi untuk
menghasilkan polutan sedikit atau tidak ada, atau mencari cara untuk mendaur
ulang limbah internal.
3. Strategi pencegahan
(Prevention strategy).
"Strategi utama untuk memaksimalkan nilai dari kegiatan pencemaran yang
berhubungan dengan melibatkan ... tidak menghasilkan polutan apapun di tempat
pertama. Dengan strategi ini, perusahaan menghindari semua masalah dengan pihak
berwenang dan dalam banyak kasus, menghasilkan perbaikan laba yang signifikan.
"
Environmental
Management Accounting (EMA)
Guna
menanggulangi masalah pengelolaan lingkungan, kini telah mulai dikembangkan Environmental
Management Accounting (EMA) sebagai perangkat untuk membantu usaha
para manajer dalam meningkatkan performa finansial sekaligus kinerja
lingkungannya. Secara sistematis, EMA mengintegrasikan aspek lingkungan
dari perusahaan ke dalam akuntasi manajemen dan proses pengambilan keputusan.
Definisi
Environmental Management Accounting (EMA) menurut The International
Federation of Accountants adalah manajemen lingkungan dan performansi
ekonomi melalui pengembangan dan implementasi sistem akuntansi yang
berhubungan dengan lingkungan dan prakteknya secara tepat.
Beberapa
keuntungan yang dapat dicapai oleh usaha/kegiatan yang menerapkan EMA antara
lain:
1. EMA dapat
menghemat pengeluaran usaha. Dampak dari isu-isu
lingkungan dalam biaya produksi seringkali tidak diperkirakan sebelumnya. Hal
ini digambarkan sebagai gunung es (ice-berg) yang bisa menenggelamkan laju
kapal. EMA dapat membantu untuk mengidentifikasi dan menganalisa biaya
tersembunyi (hidden cost), misalnya biaya minimisasi limbah yang hanya
memasukkan biaya insenerasi dan pembuangan limbah, namun juga memasukkan biaya
material, opearsional, buruh dan administrasi.
2. EMA dapat
membantu pengambilan keputusan. Keputusan yang
menguntungkan harus didasarkan pada berbagai informasi penting. EMA membantu
pengambil keputusan dengan informasi penting tentang biaya tambahan yang
disebabkan oleh isu-isu lingkungan. EMA membuka kembali biaya produk dan proses
spesifik yang seringkali tersembunyi dalam bagian overhead cost usaha/kegiatan.
3. EMA meningkatkan
performa ekonomi dan lingkungan usaha.
Ada banyak cara positif untuk meningkatkan performa usaha/kegiatan atau
organisasi, seperti investasi teknologi bersih, kampanye minimalisasi limbah,
pengenalan sistem pengendalian pencemaran udara, dll. Dari sekian banyak cara
tersebut, mana yang menguntungkan? Guna mengidentifikasi perangkat-perangkat
tersebut dalam meningkatkan pembagian tingkat keuntungan usaha/kegiatan dengan menurunkan
dampak lingkungan dari produk dan proses produksi, EMA memberikan solusi saling
menguntungkan (win-win situations). Usaha/kegiatan diharapkan akan mempunyai
performa lebih baik baik pada sisi ekonomi maupun sisi lingkungan.
4. EMA akan
mampu memuaskan semua pihak terkait.
Penerapan EMA pada usaha/kegiatan secara simultan dapat meningkatkan performa
ekonomi dan kinerja lingkungan. Oleh karena itu akan berimplikasi pada kepuasan
pelanggan dan investor, hubungan baik antara Pemerintah Daerah dan masyarakat
sekitar, serta memenuhi ketentuan regulasi. Usaha/kegiatan berpeluang untuk
memenuhi keuntungan usaha, mengurangi resiko dari berbagai pelanggaran hukum
dan meningkatkan hubungan baik secara menyeluruh dengan stakeholders laiinya.
5. EMA memberikan
keunggulan usaha/kegiatan. EMA meningkatkan
keseluruhan berbagai metoda dan perangkat yang membantu usaha/kegiatan dalam
meningkatkan laba usaha dan pengambilan keputusan. Sangat mudah dalam
penerapannya baik pada usaha menengah keatas maupun usaha kecil. EMA membantu
salah satu pengambilan keputusan penting seperti investasi baru dalam fungsi
pengelolaan usaha seperti akuntasi biaya. Hal ini sangat memungkinkan
diaplikasikan pada semua jenis sector industri dan kegiatan.
Para
pengambil keputusan di perusahaan dapat menggunakan informasi dan data yang
diperoleh dari EMA sehingga dapat mengambil keputusan dengan lebih baik, dengan
mempertimbangkan perhitungan fisik (dari material dan energi) dan juga kinerja
finansial. Jika perusahaan berupaya untuk meminimalkan biaya berbarengan dengan
meningkatkan kinerja lingkungan (misalnya mengurangi limbah), EMA dapat
memberikan informasi penting yang berkaitan dengan kedua hal tersebut.
Data
dan informasi yang diperoleh dengan melakukan EMA di perusahaan dapat
memberikan keuntungan untuk kegiatan-kegiatan pro-lingkungan sebagai berikut:
a. Pencegahan
Pencemaran
b. Design
for Environment
c. Penilaian
/ Pembiayaan / Desain Daur Hidup Lingkungan
d. Manajemen
Supply Chain
e. Pembelian
dengan pertimbangan lingkungan
f. Sistem
Manajemen Lingkungan (ISO 14001)
g. Evaluasi
Kinerja Lingkungan & Benchmarking
h. Reporting
(CSR Reporting maupun Environmental Performance Reporting)
MANAJEMEN
BERBASIS LINGKUNGAN SEBAGAI KEUNGGULAN KOMPETITIF
Perusahaan adalah suatu sistem fisik
yang menggunakan suatu sistem konseptual. Sistem Fisik Perusahaan adalah sistem
lingkaran tertutup dalam artian kata dikendalikan oleh manajemen menggunakan
informasi umpan balik untuk meyakinkan bahwa tujuan suatu perusahaan itu
tercapai. Perusahaan mengambil sumber daya dari lingkungannnya kemudian
mengubah sumber daya tersebut menjadi barang dan jasa kemudian mengembalikannya
kepada lingkungannya. “Lingkungan merupakan alasan utama dari suatu
perusahaan”. Perusahaan melihat perlunya penyediaan barang dan jasa untuk
kebutuhan lingkungan tertentu dan menanamkan modalnya sehingga perusahaan
melaksanakan aktivitasnya.
1. Lingkungan
Perusahaan
Perusahaan dalam lingkungannya dan sumber daya:
a. Uang
b. Material
c. Personil
2. Keunggulan
Kompetitif
Banyak cara untuk mencapai keunggulan kompetitif diantaranya:
·
Menyediakan barang dan jasa dengan harga murah;
·
Menyediakan barang dan jasa lebih baik daripada pesaing; dan
·
memenuhi kebutuhan khusus suatu segmen pasar tertentu.
Pada bidang komputer, “keunggulan
kompetitif” mengacu pada penggunaan informasi untuk mendapatkan “leverage” di pasaran. Artinya,
perusahaan tidak selamanya mengandalkan pada sumber daya fisik, tetapi pada
sumber daya konseptual yang unggul data dan informasi yang dapat digunakan sama
baiknya.
Ada 3 pokok penting mengenai 3
contoh keunggulan kompetitif di atas:
a. Tidak satupun perusahaan di atas yang puas hanya
mengandalkan sumber daya fisik untuk menjadi pesaing yang tangguh.
b. Tidak ada aplikasi komputer inovatif yang memberikan
kompetitif bagi perusahaan secara terus menerus.
c. Ketiga perusahaan tersebut memusatkan sumber daya informasi
mereka pada para pelanggannya.
Kebetulan materi ini meme yang presentasi...
So, meme punya powerpointnya (buat sendiri tentunya :p) n kalau mau download, silakan klik disini... ;)
Sumber: Berbagai sumber
thanks ya kak.. aku kebetulan dapat materi ini.. :)))
BalasHapusthanks ya kk sharing nya, kami sempat salah materi, krna dibuku yang kami terjemahkan enggak sesuai dengan silabus yang tertulis. blok kaka sangat membantu. terimakasih.
BalasHapus