Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum tersebut antara lain:
1. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara lain:
- Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjiandengan negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”;
- Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);
- Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak;
- Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
- Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
- Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri;
- Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
- Perjanjian bilateral: Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
- Perjanjian multirateral: Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
3. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak Internasional
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan. Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undang Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar negara untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya”.
Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi wewenang ini. Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan berdampak terhadap perekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut.
Sumber: Berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar