PPh Pasal 21
Pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada WP orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan. Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. WP berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. WP orang pribadi dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat WP orang pribadi terdaftar.
PPh Pasal 22
Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan PPh Pasal 22 meliputi pemungutan atas: (1) pembelian barang oleh instansi Pemerintah; (2) ;kegiatan impor barang; (3) produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif; (4) pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul; (5) Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah. WP dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sekaligus sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
PPh Pasal 23
Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa dividen, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT. WP badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan WP orang pribadi tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila WP menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut.
PPh Pasal 26
Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa dividen, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri. WP baik orang pribadi maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26 atau sesuai dengan ketentuan Tax Treaty.
PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG
PPh Pasal 21
Orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak, baik itu sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai antara lain meliputi:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
c. Olahragawan
d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan
g. Agen iklan;
h. Pengawas atau pengelola proyek;
i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
j. Petugas penjaja barang dagangan;
k. Petugas dinas luar asuransi;
l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau kegiatan sejenis lainnya
PPh Pasal 22
Pihak yang dipungut PPh Pasal 22:
1. Mereka yang melakukan kegiatan impor barang
2. Rekanan yang menerima pembayaran dari Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN/BUMD BPPN, dan Bank Indonesia atas penyerahan/ penjualan barang yang pembayarannya berasal dari dana APBN/ APBD;
3. Penyalur atau agen Pertamina;
4. Penyalur atau agen badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas.
5. Penyalur dan agen gula pasir dan tepung terigu dari Bulog, serta pembeli lainnya yang langsung dari Bulog;
6. Penyalur, dealer, agen, dan grosir semen, rokok putih dan rokok kretek, kertas, baja, dan otomotif, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
PPh Pasal 23
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal,pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak
PPh Pasal 26
Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia.
OBYEK PAJAK
PPh Pasal 21
Obyek pemotongan PPh Pasal 21
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilanyang bersifat teratur maupun tidak teratur.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus.
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
6. Imbalan kepada peserta kegiatan antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium,hadiah atau penghargaan dengan nama apapun.
7. Penerimaan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan namadan dalam bentuk apapun.
Bukan Obyek Pemotongan PPh Pasal 21 (KEP-545/PJ/2000)
1. Pembayaran klaim asuransi dari perusahaan asuransi, baik asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, maupun asuransi beasiswa.
2. Imbalan dalam bentuk natura, kecuali : yang diberikan oleh bukan subyek pajak, diberikan di daerah terpencil, atau diberikan oleh pemerintah.
3. Iuran pensiun yang dibayar pemberi kerja kepada dana pensiun, iuran taspen yang dibayar pemberi kerja kepada Badan Penyelenggara Taspen, iuran THT/tunjangan hari tua yang dibayar pemberi kerja kepada dana pensiun, iuran jamsostek yang dibayar pemberi kerja kepada Badan Penyelenggara Jamsostek. (pengenaan pajaknya akan dilakukan pada saat penerimaan uang pensiun atau tunjangan hari tua).
4. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja
5. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah.
6. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
PPh Pasal 22
Obyek pemotongan PPh Pasal 22
1. Impor barang
2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Anggaran,Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat pusat daerah maupun pusat.
3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
4. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif.
5. Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis dan gas.
6. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul.
7. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Bukan Obyek Pemotongan PPh Pasal 22 (254/KMK.03/2001 Jo 392/KMK.03/2001 Jo 236/KMK.03/2003 Jo SE-13/PJ.43/2001)
1. Impor barang atau penyerahan barang di dalam negeri yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
2. Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk, yaitu terdiri dari:
a. Barang perwakilan negara asing dan pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik.
b. Barang untuk keperluan badan internasional dan pejabatnya yang bertugas di Indonesia yang dinyatakan sebagai bukan subyek pajak.
c. Barang untuk musium, kebun binatang, dan tempat sejenis untuk kepentingan umum.
d. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, agama, sosial, dan kebudayaan.
e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
f. Barang untuk keperluan tuna netra dan penyandang cacat lainnya.
g. Persenjataan, amunisi, perlengkapan militer, suku cadang untuk keperluan pertahanan dan keamanan Negara.
h. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum
i. Peti mati atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah.
j. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
k. Barang pindahan
l. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkutan, pelintas batas, barang kiriman (sampai nilai pabean tertentu).
m. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan dan keamanan negara.
n. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
o. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional.
p. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional.
q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia.
r. Peralatan yang digunakan untuk Penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia.
3. Impor sementara yang semata-mata untuk diekspor kembali
4. Pembayaran oleh Bendaharawan Pemerintah (beban APBN/APBD) atas pembelian barang/jasa yang nilainya paling banyak Rp 1.000.000,00 (tanpa penerbitan SKB).
5. Pembayaran oleh Bendaharawan Pemerintah (beban APBN/APBD) atas pembelian bahan bakar minyak, listrik, telepon, gas, air PAM, benda-benda pos (tanpa penerbitan SKB).
6. Emas batangan yang diproses untuk menghasilkan barang perhiasan emas untuk tujuan ekspor.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (tanpa SKB).
8. Impor kembali (re-impor) atas barang-barang yang telah diekspor atau barang yang diimpor kembali untuk perbaikan, pengerjaan dan pengujian sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Dirjen Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG
PPh Pasal 23
Obyek pemotongan PPh Pasal 23
1. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian hasil usaha koperasi.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
3. Royalti.
4. Hadiah, penghargaan bonus, dan sejenisnya.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan, dan
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong.
Bukan Obyek Pemotongan PPh Pasal 23 (Pasal 23 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000)
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (capital lease).
3. Dividen yang dibayarkan atau terutang kepada Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Yayasan atau sejenisnya, BUMN/BUMD, yang merupakan wajib pajak dalam negeri dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia, sepanjang :
a. Dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan
b. Dalam hal penerima dividen adalah perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus memiliki usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut
4. Bunga obligasi yang dibayar atau terutang kepada reksa dana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha.
5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh Koperasi kepada angotanya.
6. Bunga simpanan Koperasi yang tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Rp 240.000,00) yang dibayar oleh Koperasi kepada anggotanya.
PPh Pasal 26
Obyek pemotongan PPh Pasal 26
1. Deviden, bunga termasuk premium diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan,pensiun dan pembayaran berkala lainnya, prem, keuntungan karena pembebasan utang.
2. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di indonesia.
3. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.
4. Penjualan atau pengalihan saham antara yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha tetap di Indonesia.
5. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
Pengurangan-pengurangan yang diperobolehkan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak untuk pegawai tetap:
1. Biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto, maksimum Rp 6.000.000,00 per tahun, atau Rp 500.000,00 per bulan.
2. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai ke dana pensiun atau penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan hari Tua, yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan, maksimal Rp 2.400.000,00 per tahun, atau Rp 200.000,00 per bulan.
3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
Besarnya penghasilan tidak kena pajak menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 162/PMK.011/2012 tentang penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak menjadi sebagai berikut:
a. Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
d. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Catatan:
Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri juga ditambah dengan PTKP keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang.
Untuk pegawai tidak tetap pengurangan yang diperkenankan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak adalah hanya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Untuk pensiunan pengurangan yang diperbolehkan dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah:
a. biaya pensiun adalah sebesar 5% dari jumlah pensiun bruto, maksimum Rp 432.000,00 per tahun atau Rp 36.000,00 per bulan.
b. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Untuk pegawai harian, mingguan, pemagang, dan pegawai tidak tetap lainnya pengurangan yang diperkenankan adalah pengurang sebesar Rp 150.000,00 per hari, dengan syarat penghasilan dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp 2.025.000,00 dan upahnya tidak dibayarkan secara bulanan.
Dalam hal penghasilan dalam satu bulan takwim melebihi Rp 2.025.000,00 atau upahnya dibayarkan secara bulanan, maka PTKP yang dapat dikurangkan adalah PTKP sebenarnya. Untuk kasus penghasilannya melebihi Rp 2.025.000,00 PTKP yang dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dibagi dengan 360. Untuk kasus yang upahnya dibayar bulanan PTKP yang dikurangkan PTKP sebenarnya.
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
Penghasilan Tidak Kena Pajak, disingkat PTKP adalah pengurangan terhadap penghasilan bruto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar wajib pajak di Indonesia. PTKP diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 162/PMK.011/2012 tentang penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak menjadi sebagai berikut:
a. Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
d. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
PENGHITUNGAN PPH PASAL 21, 22, 23 DAN 26
PPh Pasal 21
Tarif PPh Orang Pribadi
a. Tarif pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dengan ketentuan sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5%
Diatas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00 10%
Diatas Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00 15%
Diatas Rp 500.000.000,00 30%
b. Tarif 5% (lima persen)
c. Tarif 15% (lima belas persen)
d. Tarif khusus
Tarif pajak penghasilan pasal 21 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP menjadi lebih tinggi 20% daripada tarif yang ditetapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP.
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 600.000.000,00
PPh yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP:
5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 Rp 30.000.000,00
25% x Rp 250.000.000,00 Rp 62.500.000,00
30% x Rp 100.000.000,00 Rp 30.000.000,00
Rp 125.000.000,00
PPh yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP:
5% x 120% x Rp 50.000.000,00 Rp 3.000.000,00
15% x 120% x Rp 200.000.000,00 Rp 36.000.000,00
25% x 120% x Rp 250.000.000,00 Rp 75.000.000,00
30% x 120% x Rp 100.000.000,00 Rp 36.000.000,00
Rp 150.000.000,00
Tarif PPh Badan
Mulai tahun pajak 2009, tarif PPh Badan menganut sistem tarif tunggal atau single taxyaitu 28% dan akan menjadi 25% pada tahun 2010. Jadi berapapun penghasilan kena pajaknya, tarif yang dikenakan adalah satu yaitu 28% atau 25%. Khusus untuk perusahaan terbuka yang memenuhi syarat tertentu, tarif PPh Badan nya adalah 5% lebih rendah dari tarif umum.
PPh Pasal 22
Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:
1. Atas impor:
1) yang menggunakan Angka Pengenal Impor (APl), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;
2) yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor; dan/atau
3) yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara pemerintah, bendahara pengeluaran, dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dikenakan tarif sebesar 1,5% dari harga pembelian dan tidak final.
3. Atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas adalah sebagai berikut:
1) Bahan Bakar Minyak sebesar:
a. 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU Pertamina;
b. 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU bukan Pertamina dan Non SPBU;
2) Bahan Bakar Gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
3) Pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
4. Atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif:
a. penjualan kertas di dalam negeri sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
b. penjualan semua jenis semen di dalam negeri sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
c. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di dalam negeri sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
d. penjualan baja di dalam negeri sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai.
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dari pedagang pengumpul sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
PPh Pasal 23
Dalam ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarif PPh pasal 23 adalah:
1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan dan bonus selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif PPh Pasal 23 umumnya.
PPh Pasal 26
1. Dikenakan PPh Pasal 26 = 20% dari jumlah bruto penghasilan wajib pajak luar negeri berupa:
a. Dividen
b. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
c. Royalti, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
e. Hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
2. Dikenakan PPh Pasal 26 = 20% dari Perkiraan Penghasilan Netto atas penghasilan wajib pajak luar negeri berupa:
a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia
b. Penghasilan berupa premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri, yaitu:
c. 20% x 50% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di Luar Negeri
d. 20% x 10% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia
e. 20% x 5% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan reasuransi LN oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia
f. Dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari Laba Neto setelah pajak dari suatu BUT di Indonesia (Branch Profit Tax), kecuali jika ditanamkan kembali di Indonesia.
g. Dalam hal telah dilakukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah RI dengan negara lain (treaty partner), penghitungan besarnya PPh Pasal 26 didasarkan pada Tax Treaty tersebut (dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 26 atau dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah)
PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPH FINAL
1. Pemotong PPh Final:
a. Badan Pemerintah
b. Subyek Pajak Badan dalam negeri
c. Penyelenggara kegiatan
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri
e. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak, yaitu:
1) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali Camat), pengacara, konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.
2) Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa.
2. Jenis-jenis dan Obyek Pemotongan PPh Final:
Pajak Penghasilan atas Bunga, Sewa dan Imbalan Jasa Konsultan dan Jasa Konstruksi yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PPh Pasal 4 ayat 2). Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Penghasilan menyebutkan, bahwa:
”Atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU PPh Pasal 4 ayat 2, dikenakan taruf khusus. Jenis penghasilan tersebut antara lain:
a. Penghasilan berupa bunga deposito/ tabungan, diskonto SBI dan jasa giro (tarif final 20%)
b. Penghasilan dari transaksi penjualan saham, baik saham pendiri maupun bukan saham pendiri (tarif final 0,1%)
c. Penghasilan dari transaksi penjualan obligasi
d. Penghasilan dari penyerahan hadiah undian (tarif final 25%)
e. Penghasilan dari sewa tanah dan bangunan (tarif final 10%)
f. Penghasilan dari penyerahan jasa konstruksi
g. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah/ dan bangunan
h. Penghasilan dari jasa pelayaran atau penerbangan luar negeri (tarif final 2,64%)
i. Penghasilan dari jasa penerbangan dalam negeri (tarif final 1,8%)
j. Penghasilan dari jasa pelayaran dalam negeri (tarif final 1,2%)
3. Dikecualikan dari Pemotongan Pajak penghasilan:
a. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
b. Bunga deposito dan tabungan serta Serifikat Bank Indonesia, sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang terpecah-pecah.
c. Bunga deposito dan tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
d. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
e. Bunga deposito dan tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh bukan Subjek Pajak.
PENCATATAN AKUNTANSI ATAS PAJAK DIPOTONG/DIPUNGUT
PPh Pasal 21
Dalam hal ini perusahaan sebagai pihak pemotong PPh 21, terjadi pemotongan yang telah dilaksanakan, timbul utang kepada pemerintah sampai dilakukan penyetoran ke kas Negara, dibuatkan jurnal sebagai berikut:
Pada saat pemotongan (dilakukan saat pembayaran gaji)
Biaya Gaji xxx
Utang PPh Pasal 21 xxx
Kas(gaji yang dibayarkan) xxx
Pada saat menyetor ke kas Negara
Utang PPh Pasal 21 xxx
Kas xxx
PPh Pasal 22
PPh pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang, dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah). Jurnal pencatatan PPh Pasal 22 oleh Importir pada saat barang impor diterima adalah sebagai berikut:
Pembelian xxx
Pajak dibayar dimuka (PPh Pasal 22) xxx
Kas xxx
PPh Pasal 23
PPh pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga sehubungan dengan penghasilan tertentu (seperti deviden, bunga, royalti, sewa, dan jasa) yang diterima WP badan dalam negeri dan BUT. Jurnal Pencatatan PPh Pasal 23 oleh pemotong pajak adalah sebagai berikut:
Pada saat pemotongan (dilakukan pada saat pembayaran imbalan jasa)
Beban Jasa xxx
Utang PPh Pasal 23 xxx
Kas xxx
Pada saat penyetoran ke kas Negara
Utang PPh Pasal 23 xxx
Kas xxx
Sedangkan jurnal PPh Pasal 23 oleh penerima imbalan jasa adalah sebagai berikut:
Kas xxx
Pajak dibayar dimuka (PPh Pasal 23) xxx
Pendapatan Jasa xxx
Sumber: Berbagai Sumber
maaf saya buta tenteng perpajakan...saya punya npwp,di karenakan untuk pengurusan kredit ke bank...yang saya tanyakan....apa dan bagaimana cara menghitungnya? apa pendapatan harus di potong untuk penyetoran di bank? makasih informasinya dan maaf kalau tata bahasa sya berlepotan
BalasHapusya...apa pendapatan bruto saya harus di kurangi untuk cicilan di bank?...baru setelah itu cukup g saya kena wajib pajak...apa begitu ? makasih
BalasHapus